" Kurang seribu, Bu!"
" Berapa rupanya, Bang?"
"Tujuh ribu! Kurang dua ribu  lagi!" bentak Si Supir.
Si Ibu mulai terlihat jengkel tetapi memilih untuk diam. Dia merogoh kembali isi dompetnya dan mengeluarkan uang logam senilai seribu rupiah.Â
"Masih kurang seribu!"jerit Si Supir.
" Tinggal segitu uangku, Bang!"
Tapi Si Supir tetap ngotot. Sepertinya dia tak akan bergerak sebelum Si Ibu membayar kekurangan ongkosnya. Si Supir seolah tidak peduli pada tangis si bayi dan kejenuhan penumpang lain. Si Ibu yang tidak bisa menahan kemarahannya lagi, menyemprot Si Supir dengan kata-kata makian. Protes pada perubahan mendadak tarif angkutan kota ini. Sudah dadakan, naiknya drastis lagi. Mengapa dia harus membayar ekstra saat perjalanannya memang layak dihargai lima ribu perak?
Si Supir juga tidak mau kalah. Berteriak mengatakan Si Ibu tidak pengertian. Akhirnya, setelah drama panjang itu, seorang penumpang berbaik hati membayarkan kekurangan ongkos Si Ibu. Begitu menerima uang, Si Supir langsung tancap gas tanpa sempat mendengarkan Si Ibu mengucapkan terima kasihnya untuk Si Penumpang yang baik hati.
***
Sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, angkutan umum terkena imbasnya. Para Supir angkot langsung bertindak cepat. Mereka memasang tarif 6.500 rupiah untuk penumpang umum dan 4000 untuk pelajar setiap satu estafet. Satu estafet berjarak 10 km. Mereka menempelkan potongan berita-- Â tentang 'kenaikan BBM' dan 'rencana pemerintah kota menaikkan tarif 1.500 untuk transportasi umum' -- di depan pintu angkot masing-masing, seolah tindakan itu menjadi sebuah pembenaran bagi mereka untuk menaikkan ongkos.
Seorang penumpang pernah bertanya tentang ada atau tidaknya Surat Keputusan (SK) dari pihak yang berwenang mengenai perubahan tarif. Si Supir menjawab dengan ketus. Mungkin jengkel karena harus menjawab pertanyaan sama untuk kesekian kali, " Udahlah, Bu! Tanya aja sama orang pusat!"