Mohon tunggu...
Frans Siringoringo
Frans Siringoringo Mohon Tunggu... Perekayasa Jaminan Aliran dan Proses -

Hidup dalam buminya Tuhan, berkutat dalam ilmu rekayasa, bernafas dalam lingkung sosial kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Agama Instan

5 September 2018   21:54 Diperbarui: 5 September 2018   23:10 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Getty Images


Masyarakat Indonesia dapat dikatakan sebagai masyarakat yang amat mementingkan kehidupan beragama jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.

Survei yang dilaksanakan oleh Gallup menunjukkan  bahwa Indonesia menempati peringkat ke-5 dari 114 negara dalam hal keagamaan.(1) Pada saat yang sama, Indonesia juga menjadi negara dengan minat membaca yang amat rendah. Tingkat literasi negara Indonesia menempati urutan 60 dari 61 negara, setingkat di atas Bostwana.(2)

Keberadaan dua fakta di atas di Indonesia merupakan fenomena yang aneh, mengingat agama sejatinya bersumber dari kitab suci yang tidak bisa dipahami secara instan, melainkan melalui penggalian dengan membaca. Budaya membaca seharusnya menjadi kebutuhan dan kebiasaan bagi seluruh umat beragama di Indonesia jika memang agama dianggap sebagai hal yang penting dan terutama dalam kehidupan.

Kegiatan membaca yang dibahas di sini tentunya bukan sebatas mengeja kata per kata dari sebuah tulisan, melainkan menggali pokok pikiran yang terdapat dalam sebuah bacaan. Budaya membaca yang tidak populer di Indonesia bisa jadi menggambarkan minat masyarakat Indonesia dalam meluangkan waktu untuk mengkaji dan mengkritik sumber bacaan masih cukup rendah.

Di sisi lain, tata hidup yang harus dijalankan oleh umat beragama sebenarnya hanya bersumber dari kitab suci, yang adalah bahan bacaan.

Kitab suci agama adalah satu-satunya sumber sejarah dan tata beragama yang dapat dipertanggungjawabkan. Kitab sucilah yang harus menjadi pedoman utama untuk dibaca, dikaji dan direnungkan dalam mendalami ilmu agama. Tanpa minat membaca yang tinggi, rentan bagi umat beragama untuk melupakan dan membiarkan kitab sucinya berdebu.

Sesungguhnya, yang lebih menakutkan dari kitab suci yang berdebu adalah masyarakat beragama yang akhirnya lebih memilih untuk beragama secara instan.

Instan di sini berarti memilih jalan yang pintas dan mudah untuk dilakukan. Termasuk dalam hal sumber. Minat beragama yang tinggi tanpa didukung minat membaca yang mencukupi dapat mengarahkan umat beragama ke sumber-sumber ajaran agama yang lebih mudah dicerna.

Di era media sosial seperti sekarang, sangat mudah untuk menemukan konten-konten berbau agama yang dapat menjadi sumber instan bagi masyarakat dalam mendalami agamanya. Konten tersebut dapat berupa kutipan video penceramah, artikel-artikel ringan atau bahkan gambar yang berisi kutipan ayat yang disertai kesimpulan singkat mengenai ayat tersebut.

Adanya konten-konten seperti itu di media sosial sesungguhnya bukanlah hal yang buruk. Hanya saja, akan berbahaya bagi umat beragama ketika dalam menjalankan agamanya hanya mengacu pada sumber-sumber instan. Kebiasaan seperti itu nantinya dapat membiasakan umat beragama malas dalam menggali ke sumber asli agamanya, yaitu kitab suci. Yang lebih berbahaya lagi, seorang umat beragama bisa menganggap dirinya sudah paham agamanya hanya dengan mengikuti berbagai akun berbau agama di sosial media.

Berbagai sumber-sumber instan yang umumnya hanya berupa kutipan-kutipan juga dapat meningkatkan risiko perbedaan persepsi dalam masyarakat beragama.

Kutipan tersebut memiliki kelemahan karena tidak menampilkan makna keseluruhan, sehingga memancing perbedaan pendapat yang akhirnya dapat menimbulkan perselisihan. Seperti yang telah disebutkan di awal, masyarakat Indonesia sangat menyakralkan agama. Perbedaan pandangan dalam agama tidak akan dianggap sepele.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, umat beragama di Indonesia perlu memopulerkan budaya untuk mendalami agama melalui membaca.

Langkah ini dapat diawali dengan rutin membaca kitab suci dan mencoba merenungkan kisah yang diceritakan di dalamnya. Seperti bahan bacaan lainnya, kitab suci seharusnya bisa digali dengan membaca secara seksama dan mencoba mendapat pokok pikiran atau garis besar yang terkandung di dalamnya.

Memang bukan hal yang mudah untuk memahami kitab suci secara keseluruhan. Syukurnya, pada jaman sekarang akses internet untuk mencari sumber-sumber tafsiran kitab suci dari berbagai ahli sudah cukup mudah untuk dijangkau. Tentunya yang dicari bukan hanya kutipan-kutipan tafsiran yang sama saja dengan sumber instan, melainkan tafsiran secara keseluruhan yang menjelaskan bagian kitab suci tersebut secara komprehensif dan kontekstual.

Dengan semakin menghargai sumber primer dalam beragama serta meningkatnya minat untuk membaca dan mengkaji sumber keagamaan, di saat yang sama masyarakat diharapkan dapat menjauhi budaya beragama secara instan.

Masyarakat beragama di Indonesia nantinya tidak akan mudah untuk diarahkan dengan kutipan-kutipan berbau agama di status-status Facebook atau kiriman di Instagram yang sumbernya tidak jelas atau tidak menyajikan makna keseluruhan.

Melalui budaya membaca dan mengkaji yang baik, diharapkan umat beragama di Indonesia dapat menggali paham beragama dalam konteks yang benar, sehingga bisa menerapkannya dengan benar pula. Dengan jalan ini, predikat negara religius yang disandang oleh Indonesia tidak akan lagi menjadi sekedar label, melainkan sebuah identitas yang melambangkan jati diri masyarakat Indonesia yang beragama.

Catatan:

  1. "Most Religious Countries In The World"
  2. "Indonesia Second Least Literate of 61 Nations"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun