Mohon tunggu...
Free Idea
Free Idea Mohon Tunggu...

Suka membaca dan lalu menulis. Berpikiran terbuka, tanpa sekat. Bebas berpikir, tetapi tidak menjadi liar berwacana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(CFBD) Kartu Telepon Jadul

23 Agustus 2012   16:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:24 2140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_201802" align="aligncenter" width="300" caption="Kartu Telepon Edisi Bobo"] [/caption]

Masih ingat jaman dulu waktu kuliah. Saat-saat berpisah rumah dengan orang tua dan berpindah ke kota lain. Jadi anak kost sebagaimana kebanyakan mahasiswa lainnya yang sama-sama berasal dari luar kota, bahkan ada yang luar pulau. Jaman itu (sekitar tahun 1995) belum ada teknologi canggih bernama telepon genggam atau lebih populer disebut HP (Hand Phone). Satu-satunya alat telekomunikasi yang paling cepat adalah telepon kabel. Orang tua biasanya menghubungi saya melalui pesawat telepon di rumah ke telepon di kost. Biasanya malam hari dimana waktu kuliah memang sudah usai.

Masalahnya adalah ketika saya yang berkepentingan hendak menghubungi orang tua. Telepon di kost dikunci. Hanya bisa menerima dan tidak bisa digunakan menelepon keluar. Cara yang lumrah digunakan untuk kepentingan itu adalah menelepon via wartel (warung telepon) atau telepon umum. Pilihan saya biasanya adalah melalui telepon umum, khususnya telepon umum yang menggunakan kartu. Itu pun harus antri. Yang menyebalkan dari antrian ini bukan soal mengantrinya, tetapi soal tidak ada privacynya. Bayangkan saat tengah berkeluh kesah dengan orang tua, dibelakang kita, orang-orang yang mengantri ikut mendengarkan. Dalam hati mungkin mereka berkata – dasar anak mama. Hadeh, bikin malu dan turun harga pasaran. Hehehe...

Salah satu hal yang saya suka dari kartu telepon adalah gambar-gambarnya. Merekam masa-masa yang pernah saya lalui. Seperti kartu telepon bergambar Bobo seperti di atas, mengingatkan saya akan masa kecil. Jaman itu majalah Bobo adalah bacaan wajib bagi saya dan mungkin banyak anak-anak seusia saya. Lalu kartu bergambar Pemilu 1992, mewakili jaman SMA dan saat pertamakali saya menggunakan hak suara sebagai rakyat Indonesia.

1345739765990261193
1345739765990261193

Gambar Kirab Remaja Nasional 1995 mengingatkan pada dua hal. Pertama, perayaan emas kemerdekaan bangsa Indonesia. Negeri ini tepat berusia 50 tahun. Kedua, tingginya semangat nasionalisme ketika itu. Kirab Remaja Nasional sendiri adalah prosesi jalan kaki dari satu tempat ke tempat lain secara estafet oleh para remaja dari berbagai pelosok negeri. Kegiatan ini dipelopori oleh Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung Presiden Soeharto. Sekarang – pasang bendera Merah Putih saja lupa. Mungkin bentuk refleksi kekecewaan rakyat kepada pemerintah

13457400241059061541
13457400241059061541

Untung jaman telepon genggam segera datang. Saat pertama memiliki telepon genggam yang jadi perhatian saya adalah kartunya. Kartu kecil ini sekarang harganya teramat murah. Sampai-sampai ada masa ketika pulsa habis, ketimbang isi pulsa lebih memilih ganti nomer baru. Lebih murah jatuhnya – demikian alasan yang diberikan. Jaman dulu (sekitar tahun 1998), untuk punya nomer, minimal menyiapkan uang Rp. 500.000,-. Harga segitu sudah termasuk pulsa senilai Rp. 100.000,-. Saat pulsa habis dan mau mengisi ulang, mesti siap uang paling sedikit Rp. 100.000,-. Lalu kalau ada yang menelpon, selain memeriksa nama ID pemanggil, hal yang diperhatikan adalah nomer dari kota mana. Istilah roaming pada jaman dulu adalah istilah yang menakutkan. Identik dengan telepon interlokal berbiaya tinggi. Kan bikin pulsa cepat habis. Maklum anak kost dengan anggaran terbatas.

1345740174409207005
1345740174409207005

Namun dibalik kemahalannya, ada juga nilai lebihnya. Berhubung yang punya HP masih sedikit populasinya – jadilah HP sebagai sesuatu banget. Punya HP itu keren. Kalau dulu nelpon di telepon umum kesal karena tidak memiliki privacy. Saat itu malah kebalikkannya, malah pengen ditelepon pas ada banyak orang. Misalnya waktu nongkrong di cafetaria kampus. Saat ada telepon masuk, mengangkatnya sengaja agak dilamain, supaya banyak yang mendengar suara ringtonenya. Terus pas berbicara ditelepon sengaja dikeras-keraskan. Ahay...pamer mode on.

1345740259147231700
1345740259147231700

Hingga sekarang nomor yang saya pergunakan tetap sama walau HP sudah berulang kali berganti. Ternyata nomor lama itu ada nilai gengsinya juga lho. Kalau ada yang tanya nomornya berapa, terus kita kasih tahu – kadang ada yang komentar – wah 9 (atau 10 atau 11) digit, nomor lama ya. Namun  hal utama yang mendorong saya untuk mempertahankan nomor lama adalah perkataan seorang bos. Katanya : “salah satu tanda orang tidak bermasalah adalah nomor teleponnya (HP) tetap, tidak gonta-ganti”. Syukur deh, saya termasuk orang tidak bermasalah – selain tentunya orang paling jadul.

Salam Jadul

Catatan :

- semua kartu telepon adalah koleksi pribadi

- foto-foto di atas juga adalah hasil jepretan sendiri

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun