Iklim literasi pendidikan Indonesia harus belajar banyak dari literasi sepak bola Eropa. Untuk menghasilkan pemain "TOP" dunia, klub sepak bola Eropa selalu berusaha untuk menghindari diskriminasi, sukuisme, ideologisme dan agamaisme.
Hal ini berbanding terbalik dengan wajah pendidikan Indonesia yang masih menonjolkan agamaisme, sukuisme dan ideologisme. Jika kita terus hidup dalam ketiga jurang ini, sampai kapan "Sumber Daya Manusia" Indonesia bisa menerima dan bekerja sama dengan sesamanya yang berbeda latar belakang.
Memang kerja sama dalam bidang apa pun yang ada di negara kita itu sudah hampir merata di setiap aspek kehidupan. Namun, itu hanya sebatas pemanis bibir.
Misalnya, saya memiliki perusahaan tertentu atau pun lembaga pendidikan, yang berhak untuk bekerja dan studi di dalamnya adalah mereka yang berasal dari golonganku. Sementara yang bukan berasal dari golonganku dianggap musuh oleh saya.
Pola pikir "destruktif" (menghancurkan) ini seharusnya dihilangkan oleh setiap orang. Layaknya literasi sepak bola Eropa yang membina setiap orang dari belahan dunia mana pun.
Kemanusiaan lebih tinggi dari apa pun
Manfaat literasi sepak bola adalah penghargaan terhadap keberadaaan (being) manusia. Terlepas dari latar belakang dan kebangsaan yang berbeda, pemain sepak bola di satukan dalam semangat kerja sama, persahabatan, sportivitas dari setiap klub.
Kerja sama, persahabatan, sportivitas adalah semangat setiap pemain bola sejak pembinaan usia dini. Mereka merasa diterima tanpa embel-embel sukuisme, kefanatikan, ideologisme, agamaisme dalam mengeksplorasi kemampuan (passion) mereka.
Bertahun-tahun mereka hidup bersama dalam terang visi dan misi dari setiap klub. Pada waktunya, mereka dengan percaya diri berkarya di lapangan hijau dengan semangat sportivitas.
Persaingan pemain
Jika ada pemain hebat sekaliber Cristiano Ronaldo ataupun Lionel Messi yang selalu menghiasi penghargaan pemain terbaik "Ballon D'or," pemain yang lain pun lebih kerja keras lagi untuk mencapai posisi demikian.