Mohon tunggu...
Fredi Yusuf
Fredi Yusuf Mohon Tunggu... Insinyur - ide itu sering kali datang tiba-tiba dan tanpa diduga

selalu bingung kalo ditanya, "aslinya orang mana?".

Selanjutnya

Tutup

Trip

Ekspedisi Bukit Bulan (Bagian 1): Delapan Jam Menuju Dusun Manggis

15 Juni 2020   10:42 Diperbarui: 15 Juni 2020   11:02 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

“Apa…???, kalian mau pergi ke Dusun Manggis !”, ujar Pak Kades dengan sorot mata yang tajam memandang kami berenam, ketika kami utarakan niat mengunjungi Dusun Manggis.

“Tahu nggak kalian, kening kalian bisa tersepak tumit kawan sendiri, pendakian ke sana macam ini nah”, ujarnya lagi sambil mengacungkan lengannya nyaris tegak lurus ke arah langit. Kalimat perumpamaan dan bahasa tubuh yang nyaris sempurna untuk menggambarkan beratnya medan dan curamnya pendakian menuju Dusun Manggis.

Dusun Manggis adalah sebuah dusun di Desa Napal Melintang Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun, yang posisinya terpisah jauh dari pusat desa. Untuk menuju ke sana hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki melewati jalan setapak ditengah hutan, dengan rata-rata waktu tempuh perjalanan selama 8 jam. Aneh tapi nyata, dari Jambi ke Palembang saja bisa ditempuh dalam waktu 5 - 6 jam, dalam klasifikasi Organda (Organisasi Angkutan Darat) trayek ini masuk dalam kategori Antar Kota Antar Propinsi (AKAP). Tapi kalau dari Rumah Kadus (Kepala Dusun) ke rumah Kades (Kepala Desa) harus ditempuh dalam waktu 8 jam, what happen ini?, aya naon…?, apo hal nian kejadiannyo ?. 

“Kalau kalian mau pergi juga, sebaiknya yang gagah-gagah saja yang berangkat. Yang betis besar dan perut gendut, juga yang kurus dan berambut keriting sebaiknya tinggal saja di Dusun”, timpal Pak BPD yang sedari tadi ikut nimbrung namun berlum berkomentar, mulai berujar.

Betis besar dan perut gendut berarti aku dan Andi Piliang, yang kurus dan berambut keriting siapa lagi kalau bukan rekanku Qting. Jadi yang gagah-gagah versinya Desa Napal Melintang adalah : pertama, Bang Bill yang berbadan tegap mirip Angkatan Udara minus kumis. Kedua, Bang Youngky yang menurut sobat karibnya di rumah Meranjat Padang, Pak Budi Setiawan alias Iwan, Bang Youngky adalah sosok Che Guevara yang terlahir di Ranah Minang. Dan ketiga Dinaldi alias Dinald yang…?, yang apa ya?, oh ya kata tetangga dimeja sebelahku “Bang Dinald itu hitam manis loh!”.

Malam setelah selesai makan, kami berenam berkumpul di lantai 2 rumah pak Kades, basecamp kami selama di Desa. Bersiap-siap ke rumah Pak Sekdes untuk mengadakan FGD (Forum Group Discusion) dengan beberapa tokoh masyarakat desa. Bang Youngky sebagai ketua kelompok “Laskar Pelangi dari Bukit Bulan”, paling sibuk mempersiapkan segala kebutuhan untuk FGD. Mulai dari kertas plano, spidol, absensi, kamera, recorder, dan semua tetek-bengek perlengkapan lainnya.

“Jadi siapa yang mau ke Dusun Manggis besok ?”, tanya Bang Youngky pada kami.

Ambo daftar ciek  Uda. Saya mendaftarkan diri Bang”, jawab Dinald.

Ambo jugo Uda. Saya juga Bang”, sahut Qting.

“Kalau Ambo sabananyo amuah seh Uda, tapi mungkin Ambo indak talok. Saya sebenarnya mau-mau saja Bang, tapi mungkin Saya nggak sanggup”, ujar Andi Piliang dengan napas agak tertahan, mungkin celananya mulai menyempit karena perutnya kekenyangan. Maklum lauk makan malam tadi adalah sambal petai ikan teri plus gulai pakis lado hijau. Nasinya, beras baru produk sawah Napal Melintang yang baru saja ditumbuk sore tadi di heler Pak KadesPastinya makan dijamin batambuah taruiy walaupun keringat sudah bercucuran, dan hanya akan berhenti setelah ikat pinggang terasa kencang karena perut terasa kenyang.

“Aku juga sebenarnya kepingin, tapi…”, Bang Youngky tidak melanjutkan kalimatnya. Namun kami tahu maksudnya dan maklum, sebagai ketua tim dia sangat sibuk dengan berbagai urusan di Desa.

Sementara dari mulut Bang Bill tidak keluar sepatah katapun, mungkin dia nggak ngeh dengan obrolan kami karena terlalu asyik mengikir tanduk kambing hutan pemberian seorang tua di Sungai Duri. “Tanduk kambing hutan ini kata orang dapat berfungsi sebagai penangkal racun, bisa juga membuat pemakainya menjadi kebal dari rasa gatal akibat daun jelatang. Ini bagus untuk dibuat cincin, tapi harus dikikir dulu sampai halus”, ujar Bang Bill beberapa hari lalu, saat dia baru menerima mainan barunya tersebut.

“Aku juga nggak apa-apa Bang, siap menerima mandat untuk dikirim ke Dusun Manggis”, isi hatiku sebenarnya sama dengan yang diucapkan Andi Piliang, namun entah kenapa kalimat itu muncul begitu saja dari mulutku. Walaupun sebenarnya hatiku tak yakin, apalagi kalau mengingat apa yang digambarkan oleh Pak Kades dan Pak BPD, tentang beratnya medan menuju Dusun Manggis.

“Okelah kalo begitu, yang besok mau ke Dusun Manggis boleh istirahat, nggak perlu ikut FGD, yang lainnya mari berangkat ke rumah Sekdes”, seru Bang Youngky.

Aku dan Qting tinggal dirumah, sedangkan Dinald walaupun besok akan berangkat ke Dusun Manggis, tetap tertarik untuk ikut FGD. Sambil berbaring telungkup Qting membuka laptopnya, entah apalah yang dikerjakannya. Mungkin untuk entry data, mungkin menulis, atau mungkin hanya sekedar baca-baca saja. Yang pasti setiap malam dia selalu jadi yang terakhir menjadi sang pemimpi, sibuk bergelut dengan laptop hingga tak jarang sampai dini hari.

Ohya, Napal Melintang walaupun termasuk desa yang terletak jauh paling ujung dari pusat Kabupaten Sarolangun, berjarak sekitar 90 km dengan waktu tempuh menggunkan kendaraan bermotor berkisar antara 3 – 4 jam. Namun desa ini memiliki sumber energi yang cukup baik. Dengan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Hidro (PLTMH), dalam dua tahun terakhir ini masyarakat sudah bisa menikmati aliran listrik. PLTMH beroperasi dari pukul 17.30 hingga pukul 08.00 setiap harinya.

“Alhamdulillah lah, dengan PLMTH masyarakat disini masih bisa mengikuti perkembangan lagu-lagu merdu terbaru yang dinyanyikan oleh M. Nazarudin, yang sangat menghibur dan mampu mengajak kader-kader demokrat turut bergoyang”, ujar Pak Kades dengan candanya mengomentari pentingnya PLTMH bagi Masyarakat.

Oleh karena itulah walaupun jauh diujung sana laptop Qting masih bisa beroperasi. Energi untuk kebutuhan laptop dan kamera miliknya selalu tercukupi.

Kubaringkan tubuhku pada sehelai karpet diatas lantai yang disediakan Pak Kades untuk alas tidur kami. Aku mencoba untuk tidur lebih cepat agar waktu istirahatku cukup lama, sehingga tubuhku cukup bugar untuk menempuh perjalan besok.

Tetapi setelah 1 jam sudah aku terbaring mataku tidak juga bisa terpejam, walaupun lagu-lagu balad yang diputar Qting dilaptopnya berusaha menggiringku ke alam mimpi. Jiwaku gelisah, pikiranku terus melayang memikirkan beratnya medan yang akan aku tempuh besok.

“Kening kita bisa kena sepak kaki kawan. Betis besar dan perut gendut, nggak usah ikut, nggak akan sanggup”, kalimat tersebut terus terngiang ditelingaku.

Sebenarnya keputusanku untuk tidak ikut FGD, bukanlah semata-mata karena Aku ingin beristirahat penuh. Melainkan aku sengaja menghindarkan diri dari keramaian, karena jika aku ikut berkumpul sudah pasti akan banyak gambaran buruk mengenai medan berat yang akan Aku lalui besok. Hal itu tentu saja bisa menurunkan mentalku, karena itulah aku memutuskan untuk tidak ikut FGD, sebagai bagian dari strategiku untuk menghadapi “ujianku” besok.

Lama aku termenung, sanggupkan aku melalui “ujian” ini?. Atau lebih baik aku mengundurkan diri saja, daripada aku ragu dan jadi malu karena nggak lulus “ujian”. Tapi bagaimana caranya ya?. Pura-pura sakit perutkah, karena terlalu banyak makan sambal petai ikan teri dan gulai pakis lado hijau. Pura-pura masuk anginlah, karena terlalu sering begadang ikut FGD. Atau mungkin yang paling efektif, berpura-pura penyakit malariaku kambuh karena kecapekan.

Tapi tentu tidak, bukan gayaku untuk bermain “teater”. Tidak, itu tidak boleh aku lakukan, bukan gayaku untuk bersikap culas. Aku harus sportif, sekali ya tetap iya, maju terus pantang mundur. Aku tidak boleh berbohong didepan kawan-kawanku.

Aku bangkit dan duduk sesaat diatas tempat tidurku, lalu melangkah mendekati ransel dan membukanya. Aku ambil sebuah buku catatan lapanganku, aku buka lembar demi lembar hingga kutemukan selembar kertas dibungkus plastik, yang sengaja aku lipat dan aku selipkan dibuku itu.

Sebuah peta sebagai panduan kerjaku di lapangan. Lama kutatap peta tersebut, aku ingin tahu berapa bukit yang akan kudaki, berapa lembah yang akan kuturuni, dan berapa sungai yang akan kusebrangi. Tapi sayang, tak ada nama Dusun Manggis tertulis dipeta itu. Aku rasa Dusun Manggis berada jauh diluar peta yang aku cetak. 

"Wah gawat, didalam peta yang aku cetak saja nama Dusun Manggis tidak muncul. Bisa jadi Dusun Manggis ini memang benar-benar sangat jauh. Belum lagi kecenderungan garis kontur dipetaku, semakin jauh dari pusat Desa Napal Melintang garis kontur semakin rapat. Artinya medan menuju ke arah sana makin berbukit-bukit, bersiaplah dengan tanjakan dan turunan yang panjang dan sangat tajam", demikian yang aku pikirkan, dan semakin berpikir, aku menjadi semakin ragu dan semakin gelisah, ditambah rasa galau plus gundah gulana.

“Apalagi Fredi, petanya nggak akan berubah, nikmati saja perjalanan kita besok”, canda Qting yang diam-diam memperhatikanku yang tampak gelisah dan sibuk membolak-balikan peta. Aku hanya diam saja, tak menanggapi kicauan Qting seperti yang biasa aku lakukan padanya.

“Yakin usaha sampai”, kembali si Qting berkicau. Itukan mottonya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), setahuku si Qting dulunya aktif di Mapala dan nggak pernah ikutan organisasi itu.  “Sudah khatam kan ente baca buku koleksinya Bang Youngky yang berjudul Negeri 5 Menara?, amalkan saja mantranya. Man Jadda wa Jadda. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil”, kicau Qting lagi.

Aku tetap diam, namun dalam hati mulai berpikir. Yakin usaha sampai, Man Jadda wa Jadda. Mantra yang bagus. Berikutnya, masih dari koleksi buku Bang Youngky “Ranah 3 Warna” disebutkan, kalau mantra Man Jadda wa Jadda nggak mempan, maka mantra berikutnya yang harus dibaca adalah Man Shabara Zafira. Siapa yang sabar pasti beruntung.

Kalau urusan jalan kaki sih sebenarnya tidak pernah aku takuti. Hampir semua sisi di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) pernah aku kunjungi. Beberapa lokasi di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) pernah juga aku singgahi. Beberapa titik di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pun pernah aku lintasi. Semuanya aku tempuh dengan berjalan kaki.

Apalagi dulu ya, ini dulu buuaanget… waktu aku masih SMA, bareng kelompok Pencinta Alam Sabareuma (PA Sabareuma). Aku pernah menempuh perjalanan dari Bungbulang Kabupaten Garut, menuju ke pantai Pangandaran di Kabupaten Ciamis. Tiga kabupaten aku lalui, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis, sepuluh hari bro berjalan kaki menyusuri pantai. Tapi maaf ngomong ya bro, maaf ni sekali lagi, maaf. Aku bukan bermaksud sombong ya bro, cuma berbagi pengalaman saja.

Jadi masalahnya ini bukan masalah jalan kaki, apalagi masalah mantra. Bukan, bukan itu. Tapi ini urusannya sudah menyangkut fisik. Sebuah timbangan badan milik Bidan baru yang sedang membereskan perlengkapannya dirumah Pak Sekdes, membuka masalah tersebut.

Peserta pertama Qting, maju mendekati Bu Bidan dan menginjakan kakinya diatas timbangan. 47 kg, ke angka itulah panah timbangan Bu Bidan mengarah. Dengan demikian klasifikasi berat badan Qting masuk dalm kategori kelas “bulu ringan”. Berikutnya Dinald 53 kg, masuk kategori kelas “bantam yunior”. Selanjutnya berturut-turut Bang Bill dan Bang Youngky, masing-masing 71 dan 73 kg, masuk kategori kelas “berat ringan”. Sementara Andi Piliang berada di “kelas berat” dengan 87 kg. Sedangkan rekor tertinggi dipegang oleh diriku sendiri dengan berat 93 kg. horeee....!!!.

Tapi aku pikir walaupun itu masalahnya, tidak elok pula kalau kita terus memperpanjang masalah. Lebih baik kita balik lagi ke mantra tadi, Yakin Usaha Sampai, Man Jadda wa Jadda, Man Shobara Zafira. Itu bukan untuk dipikirkan atau dilapalkan saja. “Jan pandai ngecek seh, tapi di cubo, dikarajoan. Jangan cuma ngomong doang, tapi di coba, dikerjakan”. 

Ayo lakukan, bila perlu sekarang juga. Kalau nggak nyampe, ya balik lagi, gitu aja kok repot. Akhirnya mantra terakhir ciptaan Gusdur “gitu aja kok repot” lah, yang menyudahi rasa gelisah, kegalauan, dan gundah gulana dihatiku.

Tanpa disadari, beberapa saat kemudian tubuhku rebah. Dengan kertas peta menyelimuti wajahku, aku pergi ke alam mimpi, untuk menyanyikan kutipan syair lagu Ebit G. Ade, menyambut pagi membuang sepi.

-o0o-

BERSAMBUNG…


Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun