Belum lagi urusan digigit pacat. Hewan kecil seperti lintah yang suka menghisap darah itu, banyak ditemukan di hutan-hutan yang dalam kondisi lembab. Hari itu bukan main banyaknya. Kalau dia sudah menghisap darah, dari yang tadinya tubuh si pacat sebesar lidi bisa berubah jadi membengkak sebesar kelingking. Dan kalau lagi banyak, dia tidak saja menyerang dan menempel dibetis, tapi juga bisa menyerang dan nempel dipinggang, punggung, bahkan leher, untuk menghisap darah kita sepuasanya. Kalau aku yang kena sering aku lempar ke Indra, sebaliknya kalo Indra yang kena sering dilempar ke aku. Padahal bagi sebagian orang makhluk itu sangat menjijikan, tapi semuanya kami dibikin ngocol dan dibikin seru. Karena hal itulah yang bisa kami lakukan, menghibur diri untuk mengusir rasa sepi, letih, dan lelah.
Si gadis pun berkali-kali kelihatan tersenyum melihat ulah kami yang ngocol. Senyum dengan lesung pipitnya membuat dia terlihat lebih manis di dalam hutan. Sesekali diarahkannya lensa kameranya ke arah kami. Dia memang tangguh, tak terlihat kesulitan saat dia harus mendaki bukit dan menuruni lembah. Bahkan ketika kami berkali-kali tergelincir hingga pakaian berkubang lumpur, pakaiannya hanya sedikit kotor kena cipratan lumpur.
Pada suatu kesempatan si gadis bercerita, bahwa saat masih mahasiswa dia bergabung dengan kelompok pecinta alam yang sering berpetualang naik dan turun gunung. Sedangkan aku, ketika mahasiswa nakal band kampus yang belagak seperti bintang rock, tapi punya pengalaman naik tangga panggung satu ke tangga panggung lainnya yang penontonnya cuma itu-itu doang hehehe..... wajar aja pas masuk hutan dia sangat tangguh dan aku kedodoran.Â
Hari itu, setelah kegiatan survey selesai, kami berkumpul di rumah singgah di Kota Kabupaten. Kami masih harus berkumpul berdiskusi menyelesaikan urusan data lapangan untuk bahan menyusun laporan, menjelang kami bubar dan kembali ke site kerja masing-masing. Saat rehat, aku duduk bersebelahan dengan si gadis.
"Boleh aku minta nomer HP mu?" tanyaku membuka percakapan.
Si gadis menyebutkan angka-angka nomor ponselnya, lalu aku menyalinnya ponselku.
"Mau aku ajak jalan-jalan menggunakan motor?" tulisku dilayar ponsel dan mengirimnya melalui pesan singkat ke nomor yang baru aku catat.
"Boleh" balasnya singkat.
Dengan menggunakan motor Honda GL pro yang ada di rumah singgah, kami pun berboncengan membelah Jalan Lintas Sumatera tanpa tahu arah tujuan. Iya, seperti Dillan 1992, cuma tahunnya lebih muda, Dillan 2005 hihi....
Jaman itu, walaupun sudah ada teknologi ponsel, menelpon itu masih merupakan barang yang mahal. Kalau mau menelpon murah harus menunggu sampai pukul 23.00, dan berlaku sampai pukul 05.00, harganya 300 rupiah per menit.