Mohon tunggu...
FRANSISKUS LATURE
FRANSISKUS LATURE Mohon Tunggu... Advokat | Penulis | Managing Partner FLP Law Firm

Antara hukum dan kemanusiaan, saya memilih berjalan di garis tipis yang memisahkan keduanya. Menulis untuk memastikan kebenaran tetap hidup di tengah bisingnya zaman.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jangan Tunggu Jaksa Gugur di Tangan Penjahat

26 Mei 2025   14:07 Diperbarui: 26 Mei 2025   14:07 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Peringatan HBA ke-63 dilapangan Badiklat Kejaksaan RI (Sumber : Dokpres/Ist).| Fransiskus Lature, S.H

Peristiwa pembacokan terhadap seorang jaksa di Deli Serdang harus dibaca sebagai sinyal bahaya. Ini bukan sekadar tindak kriminal biasa, melainkan serangan terhadap pilar utama penegakan hukum. Ketika jaksa diserang, yang menjadi korban bukan hanya individu, tetapi seluruh sistem keadilan yang bertumpu pada kehadiran negara.

Yang membuat peristiwa ini semakin ironis adalah waktunya yang nyaris bersamaan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025. Presiden Prabowo Subianto baru saja menandatangani peraturan tersebut yang mengatur tentang bentuk dukungan dan perlindungan dari TNI serta Polri bagi jaksa. Namun baru beberapa hari berjalan, satu jaksa justru terkapar bersimbah darah. Ini mencerminkan jurang yang lebar antara aturan di atas kertas dan realitas di lapangan.

Jaksa adalah garda terdepan dalam proses penegakan hukum. Mereka tidak hanya bekerja di ruang sidang, tetapi juga turun langsung menangani perkara yang penuh risiko. Dalam kasus-kasus besar, terutama yang menyangkut mafia hukum, narkotika, dan korupsi, ancaman terhadap jaksa kerap datang dalam bentuk nyata. Ancaman yang tidak lagi bersifat simbolik, melainkan fisik. Maka, perlindungan terhadap jaksa bukanlah sebuah keistimewaan, melainkan bentuk tanggung jawab negara.

Sayangnya, tidak semua pihak sependapat dengan kebijakan baru ini. Sejumlah suara kritis muncul menyoal potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh jaksa jika mendapat dukungan aparat keamanan. Mereka khawatir, jaksa menjadi terlalu kuat dan tak tersentuh. Namun kekhawatiran semacam itu justru bisa dibalik. Tanpa perlindungan yang memadai, jaksa bisa bekerja dalam tekanan, bahkan terintimidasi oleh kekuatan non-hukum. Padahal keadilan hanya bisa ditegakkan oleh aparat yang merdeka dan bebas dari ancaman.

Yang tidak kalah penting adalah menyoroti siapa pelaku pembacokan. Salah satunya diketahui merupakan petinggi dari sebuah organisasi masyarakat. Ini memperlihatkan betapa berbahayanya jika status keorganisasian dijadikan kedok oleh individu untuk melakukan aksi kekerasan. Negara wajib tegas membedakan antara ormas yang berfungsi sebagai saluran aspirasi publik dan mereka yang menyusupkan kepentingan pribadi serta kekerasan di balik struktur organisasi tersebut.

Masyarakat pun harus melihat persoalan ini dengan jernih. Jaksa bekerja bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk menegakkan hukum yang adil bagi semua. Ketika seorang jaksa diserang karena pekerjaannya, publik seharusnya marah. Diam adalah bentuk pembiaran yang justru memberi ruang bagi kekerasan untuk tumbuh subur.

Negara tidak boleh setengah hati. Perlindungan terhadap jaksa harus bersifat nyata dan terukur. Tidak cukup hanya mencetak peraturan, tapi perlu ada implementasi yang kuat di lapangan. Koordinasi antarlembaga harus ditingkatkan. Kehadiran aparat keamanan tidak cukup datang ketika jaksa sudah menjadi korban, tetapi sejak ada indikasi ancaman yang terdeteksi lebih awal.

Evaluasi terhadap pelaksanaan Peraturan Presiden ini pun perlu dilakukan secara berkala. Pemerintah harus memastikan bahwa aturan tersebut tidak mandek di meja birokrasi, melainkan benar-benar berdampak pada perlindungan nyata bagi jaksa yang menjalankan tugasnya. Jika ini tidak terjadi, maka kita hanya akan kembali mendengar berita duka serupa yang seharusnya bisa dicegah.

Dalam situasi seperti ini, publik harus berada di barisan yang sama dengan penegak hukum. Solidaritas masyarakat bukan hanya memberi dukungan moral, tetapi juga menjadi tameng sosial bagi para jaksa yang berdiri di garis depan. Ketika negara dan masyarakat saling menopang, hukum pun menjadi pilar yang kokoh.

Kita tidak bisa menunggu sampai lebih banyak jaksa menjadi korban. Ketika hukum diinjak oleh kekerasan, maka keadilan kehilangan suara. Saatnya berdiri bersama para jaksa. Bukan karena mereka tanpa cela, tetapi karena negara yang kuat adalah negara yang menjamin aparat penegaknya bekerja dengan aman, bermartabat, dan merdeka dari rasa takut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun