Stunting masih menjadi momok yang menghantui masa depan generasi Indonesia. Berbagai program pemerintah berusaha menekan angka tersebut, salah satunya adalah rencana pemberian Makanan Bergizi Gratis kepada siswa di sekolah. Di permukaan, ini tampak sebagai solusi yang cepat dan mudah dimengerti. Namun, pengalaman dari dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa MBG bukanlah jalan pintas yang ampuh untuk menuntaskan persoalan stunting yang kompleks.
Beberapa negara yang sudah lebih dulu menjalankan program serupa tidak selalu menuai hasil yang menggembirakan. Di Tiongkok, program makan siang gratis yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun belum mampu memenuhi kebutuhan mikronutrien anak secara memadai. Akibatnya, angka stunting hanya menurun perlahan dan tidak merata antar wilayah.
India juga mengalami kendala dalam program Integrated Child Development Services yang menggabungkan pemberian makanan dan layanan kesehatan. Ketimpangan tata kelola antar daerah menyebabkan efektivitas program ini sangat beragam. Nigeria bahkan gagal total dalam menjalankan program makan sekolah karena persoalan akuntabilitas dan integrasi layanan yang lemah.
Sebaliknya, negara-negara seperti Brasil, Peru, dan Nepal menunjukkan bahwa penurunan stunting yang signifikan baru tercapai dengan pendekatan holistik yang melibatkan perbaikan sanitasi, akses air bersih, edukasi gizi, serta insentif sosial untuk mendorong perilaku sehat dalam keluarga. Di Peru, misalnya, program multisektor mampu menurunkan angka stunting hampir sepuluh persen (10) dalam Lima Tahun berkat koordinasi lintas sektor dan komitmen yang berkelanjutan.
Baca Juga:Â Gizi Atau Gimik
Pengalaman-pengalaman tersebut mengajarkan kita bahwa stunting bukan hanya soal kekurangan makanan. Faktor lingkungan, kesehatan, pendidikan, serta pola asuh sama pentingnya dalam memastikan anak tumbuh optimal. Oleh karena itu, program MBG jika berdiri sendiri tanpa sinergi dari intervensi lain berisiko menjadi solusi yang dangkal dan sementara.
Masalah lain yang tak kalah serius di Indonesia adalah inkonsistensi kebijakan antar kepemimpinan. Setiap pergantian pejabat kerap diikuti dengan perubahan arah dan prioritas program yang dapat memutus kesinambungan pelaksanaan. Program yang seharusnya membutuhkan perhatian jangka panjang menjadi terhambat dan bahkan terabaikan. Tanpa payung hukum yang kuat dan desain kelembagaan yang kokoh, MBG bisa saja mengalami nasib serupa. Ia menjadi proyek sesaat yang lebih mengutamakan citra ketimbang hasil nyata.
Jika pemerintah serius ingin menurunkan angka stunting, maka yang dibutuhkan adalah pendekatan komprehensif yang memperkuat layanan kesehatan ibu dan anak, memperluas akses sanitasi dan air bersih, meningkatkan edukasi gizi berbasis komunitas, serta mengembangkan insentif sosial yang mendorong perubahan perilaku keluarga secara berkelanjutan. Semua itu harus dikelola dengan sistem tata kelola yang konsisten lintas pemerintahan dan sektor.
Baca Juga : Kasus Keracunan Program MBG, Siapa Yang Bertanggungjawab?
Makanan Bergizi Gratis memang bisa menjadi salah satu bagian solusi, tetapi bukan satu-satunya jawaban. Jangan sampai fokus pada pemberian makanan di sekolah justru mengaburkan masalah yang lebih besar dan fundamental.