Mohon tunggu...
FRANSISKUS LATURE
FRANSISKUS LATURE Mohon Tunggu... Advokat | Penulis | Managing Partner FLP Law Firm

Antara hukum dan kemanusiaan, saya memilih berjalan di garis tipis yang memisahkan keduanya. Menulis untuk memastikan kebenaran tetap hidup di tengah bisingnya zaman.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gizi atau Gimik

3 Mei 2025   01:39 Diperbarui: 3 Mei 2025   01:39 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Politisi bagi nasi gratis di atas utang, anak sekolah bingung hadapi gizi minim dan dapur reyot tanpa prioritas./ Fransiskus Lature, S.H

Makan siang gratis bukan prestasi, apalagi terobosan. Ia hanyalah janji politik yang dikemas manis, didorong selera populisme, tapi abai pada logika dasar, siapa yang membayar, siapa yang mengawasi, dan siapa yang benar-benar mendapat manfaat?

Di atas kertas, program ini tampak heroik, memberi makan anak-anak, mengurangi beban orang tua, memperbaiki gizi pelajar. Tapi seperti kebanyakan mimpi yang diburu tanpa peta, yang tampak baik belum tentu benar, apalagi tepat.

Pertanyaannya bukan pada niat, tapi pada kapasitas. Bisakah negara yang defisitnya membengkak dan utangnya terus naik menjamin makan harian jutaan siswa setiap hari? Atau kita sedang menggali lubang utang demi menambal citra di permukaan?

Masalah tak berhenti pada anggaran. Kualitas makanan adalah bom waktu yang siap meledak jika disepelekan. Makanan murah, dipasok massal, tanpa standar gizi yang ketat, hanya akan menghasilkan generasi yang kenyang sesaat tapi kosong nutrisi.

Memberi makan bukan perkara menjejalkan nasi bungkus. Ini soal memastikan asupan protein, karbohidrat, vitamin, dan kebersihan. Tanpa itu, yang diberi makan bukan masa depan, tapi potensi masalah kesehatan jangka panjang.

Dan jangan lupakan realita di lapangan. Sekolah di pelosok tak punya dapur, tak punya penyimpanan makanan, tak punya tenaga pengolah. Di mana makanan akan dimasak? Siapa yang mengantar? Apa jaminannya tidak basi di jalan?

Kita juga harus bicara tentang pengawasan. Tanpa sistem kontrol yang kuat, program ini rentan jadi ladang korupsi baru. Kontraktor siluman, makanan oplosan, laporan fiktif, semuanya bukan hal baru dalam tradisi birokrasi kita yang keropos.

Lalu siapa yang benar-benar diuntungkan? Anak-anak atau politisi? Mereka yang makan atau mereka yang memanen suara? Kita sedang menyaksikan program sosial diubah jadi alat dagang elektoral yang dibungkus dengan jargon kemanusiaan.

Tak ada yang salah dengan memberi makan anak-anak. Tapi memberi makan dengan cara sembrono, tanpa hitungan matang dan kesiapan infrastruktur, justru menyamarkan kegagalan negara dalam membenahi akar persoalan pendidikan dan kemiskinan.

Jika memang peduli pada gizi dan masa depan generasi, mulailah dengan memperbaiki sistem kesehatan anak, memperkuat distribusi pangan bergizi di wilayah rawan, dan memastikan kualitas pendidikan yang merata. Itu jauh lebih masuk akal ketimbang menjadikan makan siang gratis sebagai panggung pencitraan.

Kita tidak butuh program populis yang dikerjakan terburu-buru hanya demi kesan. Kita butuh keberanian untuk berkata Program ini belum waktunya. Belum siap. Dan jangan dipaksakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun