Mohon tunggu...
Fransisco Tiu
Fransisco Tiu Mohon Tunggu... PELAJAR

teruslah berkarya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Krisis Kepercayaan dan Hilangnya Keteladanan di Negeri Hantu

29 September 2025   20:56 Diperbarui: 29 September 2025   20:55 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalau kita perhatikan berita dan opini akhir akhir ini, seolah kita sedang melihat cermin yang memperlihatkan wajah bangsa sendiri. Ada banyak hal yang harusnya bisa diselesaikan dengan tenang, logis, dan tegas, tetapi justru berkembang jadi ketakutan massal, drama hukum yang membingungkan, serta sumpah jabatan yang hanya indah dalam kata kata namun kosong dalam praktik. Semua itu menggambarkan bahwa negeri ini sedang menghadapi krisis kepercayaan yang serius.

Salah satu gambaran menarik datang dari tulisan F Rahardi tentang fobia ulat bulu. Fenomena meledaknya populasi ulat bulu yang sebenarnya tidak berbahaya bagi pertanian maupun kesehatan manusia ternyata menimbulkan ketakutan luar biasa di masyarakat. Kepala sekolah sampai meliburkan murid hanya karena ulat bulu merayap di dinding sekolah. Para guru menyuruh murid menyemprot ulat dengan racun serangga, seakan ulat bulu adalah ancaman besar yang harus dimusnahkan. Padahal dalam kenyataan, ulat bulu hanyalah larva kupu kupu yang nantinya akan bermetamorfosis menjadi makhluk indah. Bahkan di masa lalu, sebagian masyarakat menjadikan pupa ulat sebagai sumber protein.

Rahardi melihat hal ini sebagai cermin kondisi bangsa yang penuh paradoks. Kita membenci ulatnya, tetapi mengagumi kupu kupunya. Kita panik dengan sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya, namun mengabaikan masalah besar yang justru menghancurkan moral bangsa. Rahardi menyebut negeri ini sebagai republik hantu, tempat rakyat maupun pemimpinnya sama sama dikuasai ketakutan. Presiden takut dimakzulkan, menteri takut direshuffle, partai takut kehilangan posisi. Semua sibuk dengan fobia masing masing. Dari sini terlihat jelas bahwa masalah terbesar bukan pada ulat bulu itu sendiri, melainkan pada moralitas dan keberanian para pemimpin menghadapi kenyataan.

Dari isu yang tampak sederhana ini kita beralih ke persoalan yang jauh lebih besar, yaitu kasus pagar laut ilegal di Banten. Editorial Tempo mengangkatnya sebagai contoh nyata lemahnya penegakan hukum. Pagar laut sepanjang puluhan kilometer jelas dibangun tanpa izin, melibatkan banyak pihak, dan merugikan masyarakat. Namun penanganannya justru membingungkan. Menteri Kelautan dan Perikanan menyebut pagar itu sebagai barang bukti yang tidak boleh dibongkar, sementara pejabat militer mengklaim pembongkaran sudah atas perintah atasan. Polisi pun berdalih masih menunggu keputusan lembaga lain. Semua seakan saling lempar tanggung jawab, padahal fakta di lapangan begitu jelas.

Editorial itu menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto harus turun tangan. Jika kasus ini dibiarkan berlarut larut, publik akan makin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Lemahnya penegakan hukum memperkuat dugaan bahwa negara kalah di hadapan kepentingan pengusaha besar yang menjadi dalang proyek. Bahkan disebut ada kaitannya dengan pembangunan kawasan Pantai Indah Kapuk yang memang sejak awal penuh masalah tata ruang. Sentimen negatif masyarakat terhadap proyek tersebut bisa memicu konflik sosial yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar pelanggaran administratif. Dari sini kita belajar bahwa hukum yang tidak ditegakkan dengan tegas akan membuka ruang bagi ketidakadilan, dan ketidakadilan akan melahirkan ketidakpercayaan.

Selain masalah ketakutan massal dan drama hukum, ada pula krisis keteladanan yang disoroti Budiman Tanuredjo. Ia menulis tentang sumpah jabatan anggota DPR yang pada akhirnya hanya menjadi teks mati. Janji untuk menjunjung tinggi konstitusi dan mengutamakan kepentingan rakyat tidak tercermin dalam kebijakan nyata. Banyak keputusan yang justru menyakiti rakyat dan menguntungkan kelompok tertentu. Upaya sebagian elite untuk mengutak atik undang undang Pilkada demi kepentingan politik adalah bukti nyata bahwa sumpah jabatan hanya berhenti pada ucapan, tidak diwujudkan dalam tindakan.

Budiman mengingatkan kita pada Reformasi seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan. Saat itu rakyat menuntut perubahan besar, mulai dari pemberantasan korupsi hingga pencabutan dwifungsi ABRI. Reformasi memang berhasil menjatuhkan rezim Orde Baru, tetapi setelah lebih dari dua dekade, banyak tuntutan itu masih terasa belum terwujud. Korupsi masih marak, hukum belum tegak dengan adil, dan keteladanan dari pemimpin bangsa semakin jarang terlihat. Kita kehilangan tokoh tokoh besar seperti Hatta, Agus Salim, Gus Dur, Nurcholish Madjid, atau Buya Syafii Maarif, tokoh yang berani berdiri membela rakyat dan memberi arah moral. Kini yang tersisa adalah elit yang lebih sibuk dengan kepentingan politiknya sendiri.

Kalau kita tarik benang merah dari ketiga artikel itu, semuanya bermuara pada satu hal yang sama yaitu krisis kepercayaan. Fobia ulat bulu menunjukkan rakyat mudah sekali panik dan tidak mendapat pendidikan lingkungan yang benar. Kasus pagar laut ilegal memperlihatkan hukum bisa ditunda tunda dan bahkan dimainkan oleh kepentingan tertentu. Sumpah jabatan yang hanya menjadi teks mati menegaskan bahwa etika publik tidak lagi dihormati. Rakyat akhirnya makin sulit percaya pada pemimpin, hukum, dan lembaga politik.

Krisis ini jauh lebih berbahaya daripada ancaman ekonomi atau bencana alam, karena menyentuh inti kehidupan berbangsa. Bangsa yang kehilangan kepercayaan akan terjebak dalam lingkaran curiga, takut, dan apatis. Jika ini terus berlangsung, yang terjadi adalah krisis legitimasi yang bisa mengguncang fondasi negara.

Sebagai generasi muda, saya merasa kita tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus kritis terhadap kebijakan, berani bersuara, dan mau belajar dari sejarah. Pemimpin yang jujur dan berani harus didukung. Penegakan hukum yang adil harus diperjuangkan. Etika politik tidak boleh berhenti di teks sumpah, tetapi diwujudkan dalam kebijakan nyata. Sejarah sudah membuktikan bahwa bangsa ini bisa bangkit. Reformasi adalah contohnya. Tetapi kebangkitan hanya mungkin terjadi jika ada keberanian untuk menghadapi kenyataan pahit dan kemauan untuk berubah.

Pertanyaan yang tersisa untuk kita semua adalah apakah para pemimpin sekarang berani menjadi teladan baru. Atau apakah mereka akan terus larut dalam fobia, drama hukum, dan janji kosong yang membuat negeri ini terus terlihat seperti negeri hantu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun