Krisis Lingkungan yang Diabaikan
Ketika berbicara tentang banjir Sungai Deli, banyak yang lupa bahwa ini bukan hanya masalah drainase atau tata kota. Ini juga soal krisis lingkungan yang diabaikan selama puluhan tahun. Hulu Sungai Deli di Kabupaten Karo dan Deli Serdang kini sudah banyak berubah. Hutan yang dulu lebat kini beralih fungsi menjadi kebun sawit, permukiman, dan lahan industri. Akibatnya, daya serap tanah terhadap air hujan menurun drastis. Air yang seharusnya meresap ke tanah langsung mengalir deras ke sungai, mempercepat luapan di hilir, yaitu Kota Medan.
Faktor lain yang memperparah adalah perilaku masyarakat perkotaan sendiri. Banyak warga yang masih menganggap sungai sebagai tempat pembuangan akhir. Tak sulit menemukan pemandangan tumpukan sampah plastik, kasur rusak, atau bahkan limbah rumah tangga yang hanyut di Sungai Deli. Dalam satu sisi, masyarakat menjadi korban, tapi di sisi lain, mereka juga turut menjadi pelaku.
Namun kesalahan terbesar tetap berada di tangan pemerintah. Ketika perilaku buruk masyarakat dibiarkan tanpa pendidikan, tanpa sistem pengelolaan sampah terpadu, tanpa penegakan hukum yang tegas, maka yang terjadi adalah pembiaran sistemik. Pemerintah seharusnya tak hanya menunggu warga sadar, tapi aktif menciptakan ekosistem yang mendorong perubahan perilaku.
Jika Medan ingin keluar dari siklus banjir tahunan, pendekatan teknis harus berjalan seiring dengan pendekatan ekologis. Sungai Deli tidak akan pulih hanya dengan pengerukan lumpur atau pembangunan tanggul beton. Sungai akan kembali sehat hanya jika seluruh ekosistem pendukungnya diperbaiki, mulai dari hulu hingga hilir. Artinya, pemerintah harus memandang Sungai Deli bukan sebagai saluran air, tapi sebagai sistem kehidupan yang kompleks.
Harapan yang Tertinggal di Tepian Sungai
Di tengah semua kelelahan dan ketidakpastian, warga Medan masih menyimpan harapan kecil. Mereka ingin hidup tenang tanpa takut air masuk rumah setiap kali hujan turun. Mereka ingin pemerintah yang sigap, bukan yang reaktif. Mereka ingin sungai yang bersih dan bisa dinikmati, bukan dihindari.
Beberapa komunitas lokal sebenarnya sudah mulai bergerak. Anak-anak muda di beberapa kecamatan melakukan gerakan bersih sungai, menanam pohon di bantaran, dan mengedukasi masyarakat sekitar. Tapi upaya kecil ini akan sulit bertahan jika tidak mendapat dukungan struktural dari pemerintah kota.
Kota Medan membutuhkan perubahan cara pandang. Masalah banjir bukan sekadar urusan teknis Dinas PU atau Dinas Lingkungan Hidup. Ini adalah persoalan lintas sektor yang menyentuh tata ruang, sosial, ekonomi, bahkan budaya masyarakat. Selama masih ada ego sektoral antarinstansi dan proyek-proyek yang hanya mengejar pencitraan, Sungai Deli akan terus menjadi "bom waktu" setiap kali musim hujan datang.
Pemerintah perlu berani membuat kebijakan besar yang menyentuh akar masalah. Relokasi warga bantaran sungai harus dilakukan dengan pendekatan manusiawi dan disertai penyediaan hunian layak. Drainase kota harus dibangun ulang dengan perhitungan iklim ekstrem masa depan. Pengawasan terhadap pembangunan di kawasan resapan air harus diperketat tanpa pandang bulu.
Perubahan itu tidak akan terjadi jika setiap musim hujan hanya direspons dengan seruan "tetap waspada". Kota sebesar Medan membutuhkan langkah berani dan strategi jangka panjang. Pemerintah harus berhenti menunggu bencana berikutnya untuk bertindak. Sungai Deli sudah cukup lama memberi peringatan. Kini saatnya kita berhenti menyalahkan hujan, dan mulai memperbaiki kesalahan manusia.