Kesehatan adalah fondasi utama dalam kehidupan manusia. Tanpa tubuh yang sehat, semua rencana bisa berantakan. Namun, di Indonesia, urusan kesehatan justru seringkali menjadi sumber keresahan baru. Wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang kembali ramai dibicarakan membuat banyak orang bertanya-tanya: apakah kesehatan benar-benar masih bisa dijangkau oleh rakyat biasa, atau justru semakin lama menjadi hak istimewa bagi mereka yang punya uang lebih? Pertanyaan ini bukan sekadar keluhan sesaat, melainkan cerminan keresahan mendalam tentang arah kebijakan negara dalam mengurus kesehatan warganya.
Kesehatan sebagai Hak, Bukan Komoditas
Sejak lahir, manusia memiliki hak yang melekat: hak hidup, hak pendidikan, dan hak kesehatan. Hak kesehatan ini jelas tercantum dalam konstitusi, di mana negara wajib melindungi seluruh warganya. Namun, realitas di lapangan kerap menunjukkan hal sebaliknya. Iuran BPJS yang terus naik membuat sebagian masyarakat mempertanyakan apakah hak kesehatan kini berubah menjadi barang dagangan.
Kenaikan iuran sering dibenarkan dengan alasan menutup defisit anggaran BPJS. Pemerintah berargumen bahwa biaya kesehatan memang naik seiring berkembangnya teknologi medis dan bertambahnya jumlah pasien. Tetapi apakah benar jalan keluarnya hanya dengan membebani rakyat? Di sinilah perdebatan bermula. Masyarakat kelas menengah ke bawah jelas paling merasakan dampaknya. Bayangkan seorang buruh dengan gaji pas-pasan, yang bahkan untuk membeli beras saja sudah harus menimbang ulang, kini dituntut membayar lebih mahal untuk iuran kesehatan.
Pertanyaan yang lebih mengusik lagi adalah: apakah negara benar-benar sudah menunaikan kewajibannya menyediakan layanan kesehatan yang adil dan setara? Jika kesehatan adalah hak, maka tidak seharusnya rakyat diperlakukan seolah-olah mereka adalah konsumen sebuah perusahaan.
Paradoks Antara Iuran dan Layanan
Ada satu paradoks besar yang sering muncul ketika membicarakan BPJS: iuran terus naik, tetapi keluhan tentang layanan tidak pernah surut. Banyak peserta yang mengaku sudah membayar tepat waktu, bahkan bertahun-tahun tanpa pernah menggunakan layanan, namun ketika akhirnya sakit, mereka justru menghadapi birokrasi yang rumit.
Antrean panjang di rumah sakit, obat yang habis, hingga diskriminasi perlakuan antara pasien umum dan pasien BPJS masih sering terdengar. Ironisnya, kondisi ini membuat sebagian orang merasa lebih aman jika memiliki asuransi swasta, meski harus membayar lebih mahal. Padahal, semangat awal BPJS adalah menciptakan sistem jaminan kesehatan nasional yang inklusif dan merata.
Di sisi lain, tenaga medis dan rumah sakit juga kerap mengeluh tentang keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS. Hal ini memicu dilema ganda. Peserta merasa dirugikan karena layanan tidak optimal, sementara penyedia layanan kesehatan merasa terbebani oleh sistem yang lambat dan berbelit. Lalu siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kenaikan iuran ini?
Jika tujuan BPJS adalah menciptakan rasa aman, kenyataannya justru sebaliknya. Rakyat merasa cemas karena iuran naik, tetapi layanan tidak kunjung membaik. Paradoks ini menimbulkan ketidakpercayaan yang semakin dalam terhadap sistem kesehatan nasional.