Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia selalu terdengar indah dalam pidato kenegaraan, tertulis di buku pelajaran, bahkan menjadi bagian dari janji politik yang berulang kali dikumandangkan. Namun di tengah kenyataan sehari-hari, cita-cita luhur dalam sila kelima Pancasila itu kerap tampak seperti fatamorgana. Sila ke 5 Â terlihat jelas dan menjadi cita-cita luhur pembangunan bangsa, tetapi sulit dirasakan ketika kita benar-benar mencoba meraihnya. Pertanyaannya, apakah keadilan sosial memang mustahil diterapkan, atau sebenarnya kita sedang salah memahami cara mencapainya?
Keadilan Sosial yang Masih Menjadi Retorika
Keadilan sosial seharusnya bermakna semua orang memiliki hak yang sama untuk hidup layak, memperoleh pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kesempatan berkembang. Namun realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan yang begitu lebar. Kita bisa melihat perbedaan mencolok antara anak-anak di kota besar yang bebas memilih sekolah swasta unggulan, dengan anak-anak di pelosok yang bahkan masih kesulitan mendapatkan guru tetap.
Di sektor kesehatan, fasilitas rumah sakit modern menumpuk di pusat kota, sementara masyarakat desa masih harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk berobat. Begitu juga dalam hal ekonomi, di mana segelintir kelompok bisa menguasai sumber daya alam dengan mudah, sementara sebagian besar masyarakat masih berjuang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Di titik inilah sila kelima sering kali berhenti sebagai retorika. Banyak orang menganggap keadilan sosial adalah tanggung jawab negara saja, padahal realisasinya tidak sesederhana itu. Keadilan sosial bukan sekadar hadir dalam bentuk regulasi atau program bantuan, tetapi juga dalam praktik sosial dan budaya sehari-hari.
Ironisnya, sebagian besar masyarakat lebih suka menyalahkan pemerintah tanpa menyadari bahwa budaya curang, diskriminasi kecil, hingga sikap mementingkan diri sendiri juga menjadi penghalang serius dalam mewujudkan sila kelima. Dengan kata lain, keadilan sosial seringkali kita khianati sendiri sebelum benar-benar diwujudkan.
Mentalitas Kolektif yang Belum Mendukung
Membicarakan keadilan sosial tanpa menyinggung mentalitas bangsa adalah sebuah kelalaian besar. Banyak orang berpikir keadilan sosial hanya soal distribusi ekonomi atau pemerataan akses, padahal salah satu akar masalahnya adalah karakter kolektif kita.
Budaya nepotisme masih kuat melekat. Tidak jarang seseorang mendapatkan pekerjaan atau posisi bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan dengan penguasa atau jaringan keluarga. Fenomena ini jelas merusak makna keadilan sosial yang seharusnya memberi kesempatan setara bagi semua orang.
Korupsi juga menjadi cermin mentalitas yang bertentangan dengan sila kelima. Ketika seorang pejabat menyelewengkan anggaran pembangunan, korban nyatanya adalah masyarakat yang seharusnya menikmati fasilitas publik. Maka tak heran jika keadilan sosial terasa seperti mimpi, sebab praktik semacam ini justru memperlebar jurang ketidakadilan.