Banyak orang masih memandang ibu rumah tangga sebagai pekerjaan yang sederhana. Gambaran klise yang sering muncul adalah sosok perempuan yang tinggal di rumah, mengurus anak, memasak, membersihkan, lalu beristirahat di sela waktunya. Namun, kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. Beban yang dihadapi seorang ibu rumah tangga bisa terasa lebih berat dari pekerja kantoran. Dari sinilah muncul pertanyaan yang kerap jadi bahan diskusi, benarkah ibu rumah tangga lebih rentan mengalami burnout?
Isu ini penting dibicarakan karena burnout bukan lagi sekadar istilah populer di dunia kerja, tetapi kondisi psikologis nyata yang bisa menimpa siapa saja. Rasa lelah berkepanjangan, kehilangan semangat, dan perasaan hampa bisa hadir pada siapapun, termasuk perempuan yang memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya di rumah. Jika biasanya burnout dibicarakan dalam konteks karier profesional, saatnya kita meninjau ulang dari perspektif lain, yaitu kehidupan seorang ibu rumah tangga.
Pekerjaan Rumah Tangga yang Tak Ada Ujungnya
Tidak ada jam kerja resmi bagi seorang ibu rumah tangga. Pekerja kantoran bisa menutup laptop ketika jam pulang tiba, namun seorang ibu rumah tangga tetap berjaga bahkan di tengah malam saat anak terbangun atau saat keluarga membutuhkan sesuatu. Aktivitas rutin yang tak pernah berhenti inilah yang membuat banyak ibu merasa energinya terkuras tanpa kesempatan pulih.
Meski terdengar sepele, pekerjaan seperti mencuci piring, menyapu, memasak, atau menemani anak belajar membutuhkan konsentrasi, energi, dan kesabaran. Saat dikerjakan setiap hari tanpa henti, pekerjaan ini bukan lagi sekadar rutinitas, melainkan maraton yang tak ada garis finisnya. Perasaan ini sering kali menjadi pemicu awal munculnya burnout.
Banyak orang mengira seorang ibu rumah tangga memiliki banyak waktu luang. Padahal justru sebaliknya, waktu luang nyaris tidak ada. Waktu istirahat kerap terganggu oleh kebutuhan keluarga. Belum lagi jika ada anak kecil yang menuntut perhatian ekstra. Ibu rumah tangga sering merasa seperti bekerja tanpa upah, tanpa penghargaan, dan tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Kombinasi inilah yang membuat risiko burnout semakin besar.
Dimensi Psikologis yang Sering Diabaikan
Burnout bukan hanya soal kelelahan fisik, melainkan juga kelelahan mental dan emosional. Banyak ibu rumah tangga merasa tidak mendapatkan pengakuan atas kerja keras mereka. Sebagian besar hasil kerja rumah tangga dianggap hal biasa, bahkan kewajiban. Hampir tidak ada yang merayakan keberhasilan ibu dalam menjaga rumah tetap rapi atau memastikan keluarga mendapat makanan sehat setiap hari.
Ketika upaya besar terasa seolah tidak bernilai, timbul perasaan hampa. Dari sinilah muncul perasaan kesepian, tidak berarti, bahkan kehilangan identitas diri. Seorang ibu rumah tangga bisa merasa dirinya hanyalah mesin yang mengurus kebutuhan orang lain, bukan individu dengan mimpi dan keinginan.
Lebih jauh lagi, ada dimensi sosial yang memperburuk kondisi ini. Budaya masyarakat masih sering memandang remeh peran ibu rumah tangga. Banyak yang menganggap perempuan yang tidak bekerja di luar rumah berarti kurang produktif. Tekanan semacam ini membuat ibu rumah tangga sering kali merasa terjebak di persimpangan antara menjalankan tanggung jawab keluarga dan mencari pengakuan sosial. Kondisi ini tentu menjadi pupuk subur bagi burnout untuk tumbuh.