Pinjaman online atau yang lebih akrab disebut pinjol sudah jadi fenomena sosial yang tak bisa diabaikan lagi. Kehadirannya awalnya digadang-gadang sebagai solusi modern di tengah sulitnya akses kredit formal. Tapi dalam praktiknya, pinjol justru berubah menjadi pisau bermata dua. Ia bisa memberi bantuan cepat, tapi juga bisa merobek stabilitas hidup seseorang tanpa ampun. Situasi ini membuat banyak orang terjebak dalam lingkaran utang yang sebenarnya lebih mirip jebakan sistematis daripada sekadar kesalahan individu.
Fenomena pinjol memperlihatkan dua wajah dunia keuangan hari ini. Di satu sisi, teknologi memberi akses cepat dan praktis. Di sisi lain, ada mekanisme bunga, denda, serta pola bisnis yang membuat orang semakin sulit keluar dari jeratnya. Narasi tentang pinjol seakan sudah terlalu sering berhenti pada bahaya bunga tinggi atau cerita sedih korban. Padahal, ada sisi lain yang lebih dalam yaitu pinjol telah mengubah cara orang memandang uang, menciptakan pola konsumsi baru, bahkan merusak sistem keuangan secara kultural.
Manisnya Kemudahan yang Menyimpan Racun
Kekuatan terbesar pinjol bukan pada besar kecilnya bunga, tapi pada kemudahan aksesnya. Dalam lima menit, siapa pun bisa mendapat pinjaman hanya dengan mengunggah KTP dan mengisi data pribadi. Proses yang selama ini dikenal ribet di bank mendadak dipangkas habis. Orang yang biasanya butuh berhari-hari untuk pinjam ke lembaga resmi, kini cukup beberapa sentuhan layar.
Di sinilah letak masalahnya. Kemudahan ini menimbulkan efek candu psikologis. Begitu seseorang tahu bahwa uang cepat bisa didapat dengan sekali klik, mereka akan cenderung mengulanginya. Awalnya mungkin hanya untuk kebutuhan mendesak seperti biaya kesehatan atau menutup kebutuhan sehari-hari. Namun perlahan, pinjol merembes ke gaya hidup. Orang jadi berani membeli barang yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok karena merasa ada "jalan keluar" jika keuangan seret.
Racun yang tersembunyi dari kemudahan ini adalah ilusi kontrol. Pinjol membuat seseorang merasa bisa mengatur uangnya dengan fleksibel, padahal sesungguhnya ia sedang terikat pada utang berbunga tinggi. Bagi sebagian orang, kebiasaan ini menjadi seperti candu rokok: sulit berhenti meski tahu bahayanya.
Jerat Ilusi Kebebasan yang Mengunci Masa Depan
Pinjol sering digambarkan sebagai penyelamat darurat. Tapi di balik itu, ia menciptakan ilusi kebebasan finansial yang palsu. Ketika kamu meminjam sejuta, angka itu terlihat kecil. Namun dalam sebulan, bisa berubah menjadi sejuta lima ratus ribu dengan bunga dan denda. Jika terlambat membayar, bunga berlipat ganda, hingga akhirnya utang kecil menjelma jadi gunung masalah.
Dari sisi psikologi, pinjol memupuk budaya "hidup hari ini, tanggung jawab nanti". Orang terbiasa menutup kekurangan dengan pinjaman baru, hingga lahir lingkaran setan utang yang tidak ada ujungnya. Masalah ini bukan hanya merampas uang, tetapi juga merampok rasa tenang. Tidur tidak nyenyak karena takut ditagih, hubungan keluarga terguncang karena tekanan finansial, bahkan ada yang sampai mengakhiri hidup karena putus asa.
Pinjol juga secara tidak langsung menunda masa depan seseorang. Gaji yang seharusnya bisa digunakan untuk menabung, investasi, atau membangun rencana jangka panjang justru habis untuk melunasi bunga dan denda. Masa depan yang mestinya bebas justru terkunci rapat karena satu keputusan tergesa meminjam uang cepat.