Masalahnya, perilaku seperti ini akhirnya menjadi budaya tidak tertulis. Orang yang baru masuk ke lingkungan tersebut akan ikut-ikutan, karena mereka tidak ingin jadi target berikutnya. Begitu siklus ini berjalan terus, crab mentality menjadi normalisasi hal yang dianggap biasa, padahal perlahan merusak semangat kemajuan bersama.
Peran Media Sosial dalam Memperbesar Efeknya
Media sosial adalah panggung besar tempat kita memamerkan pencapaian, berbagi cerita, dan saling terhubung. Namun, ia juga menjadi lahan subur bagi crab mentality berkembang lebih cepat. Perbandingan yang dulunya hanya terjadi di lingkungan sekitar, kini bisa berlangsung lintas kota bahkan lintas negara.
Kamu mungkin pernah melihat unggahan seseorang yang merayakan pencapaiannya entah kelulusan, pekerjaan baru, atau bisnis yang sukses. Dalam hitungan jam, komentar sinis pun bermunculan. Ada yang meragukan pencapaiannya, ada yang mencari-cari kelemahannya, bahkan ada yang secara terang-terangan menuduhnya pamer.
Kenapa ini bisa terjadi? Salah satu alasannya adalah karena media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang memulai dari titik yang sama. Padahal kenyataannya, latar belakang, perjuangan, dan kesempatan setiap orang sangat berbeda. Sayangnya, alih-alih memahami konteks itu, sebagian orang lebih memilih merendahkan pencapaian orang lain agar diri sendiri merasa lebih nyaman.
Di sisi lain, algoritma media sosial juga ikut berperan. Konten yang memicu emosi kuat termasuk rasa kesal atau iri cenderung lebih sering muncul di linimasa. Ini membuat potensi crab mentality semakin besar, karena kita terus-menerus terekspos pada perbandingan yang tidak sehat.
Dampak Psikologis dan Sosial yang Tidak Terlihat Langsung
Salah satu alasan crab mentality jarang dianggap masalah serius adalah karena dampaknya tidak langsung terlihat. Ia bekerja pelan-pelan, mengikis rasa percaya diri dan mematikan semangat berinovasi. Seseorang yang terus-menerus mendapat komentar negatif atau diremehkan, lama-lama bisa mulai meragukan kemampuan dirinya sendiri.
Di tingkat sosial, crab mentality menciptakan lingkungan yang penuh kecurigaan. Kolaborasi menjadi sulit terwujud, karena setiap pihak takut orang lain akan mengambil keuntungan atau menjatuhkan mereka. Akhirnya, ide-ide besar gagal terwujud bukan karena tidak mungkin, tapi karena iklim sosialnya tidak mendukung.
Dampak ini juga terasa di generasi muda. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh crab mentality bisa menginternalisasi pola pikir tersebut. Mereka belajar bahwa aman itu berarti tidak menonjol, bahwa sukses itu berarti siap jadi sasaran kritik, dan bahwa lebih baik semua orang tetap rata-rata daripada ada yang maju terlalu jauh.
Jika tidak diatasi, ini berpotensi menciptakan generasi yang enggan mengambil risiko, takut bermimpi besar, dan lebih memilih zona nyaman daripada mencoba hal baru. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya kerugian individu, tapi juga kerugian bagi kemajuan bangsa.