Kadang, musuh terbesar kesuksesan seseorang bukan datang dari persaingan dengan pihak luar, melainkan dari orang-orang di sekitarnya sendiri. Ada fenomena yang diam-diam hidup di tengah kita, tapi jarang diakui secara terbuka: crab mentality. Ibarat sekumpulan kepiting di ember, ketika satu mencoba memanjat keluar, yang lain justru menariknya kembali. Bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk memastikan tidak ada yang bisa keluar lebih dulu.
Fenomena ini bukan sekadar masalah iri hati atau rasa tidak suka. Tapi  adalah gejala sosial yang lahir dari campuran faktor budaya, psikologis, dan lingkungan yang unik. Di masyarakat kita, crab mentality sering bersembunyi di balik candaan, komentar sepele, bahkan nasihat yang terdengar baik. Namun di balik itu, ada pola pikir yang membatasi kemajuan bersama.
Akar Budaya yang Membentuk Pola Pikir Menarik Turun
Kalau mau jujur, crab mentality di Indonesia punya akar yang cukup dalam. Kita tumbuh di tengah budaya kolektivitas yang menekankan kebersamaan, kesetaraan, dan rasa tidak enak jika terlalu berbeda. Nilai-nilai ini awalnya diciptakan untuk menjaga harmoni, tapi di sisi lain, bisa melahirkan tekanan sosial yang membuat seseorang takut melangkah terlalu jauh dari kelompoknya.
Di banyak daerah, ada ungkapan-ungkapan yang secara tak langsung mengajarkan kita untuk tidak  terlalu menonjol . Misalnya, seseorang yang punya ide berbeda atau berani mencoba hal baru sering dicap  terlalu ambisius  atau  tidak tahu diri . Akibatnya, banyak orang akhirnya memilih menahan diri, meski mereka sebenarnya mampu melangkah lebih jauh.
Budaya malu yang kita junjung tinggi seringkali jadi bumerang. Rasa malu seharusnya menjadi rem moral agar kita tidak bertindak merugikan orang lain. Namun, dalam konteks crab mentality, rasa malu berubah fungsi menjadi pembatas yang mencegah orang untuk berkembang dan menghalangi mereka yang sudah berada di jalur kesuksesan.
Ketika Rasa Iri Menyamar Menjadi Kewajaran
Yang membuat crab mentality semakin sulit dihilangkan adalah karena ia sering menyamar sebagai kewajaran. Banyak orang merasa sah-sah saja memberi komentar negatif dengan alasan  hanya bercanda  atau  biar tidak sombong . Padahal, di balik itu ada rasa iri yang belum terselesaikan.
Iri hati sendiri adalah emosi yang wajar. Siapa pun bisa merasakannya. Namun, yang membedakan adalah cara kita mengelolanya. Di banyak kasus, alih-alih mengubah rasa iri menjadi motivasi, orang memilih untuk menurunkan standar orang lain agar sesuai dengan mereka. Ini seperti memotong tinggi pohon tetangga supaya kebun sendiri terlihat sama rata.
Fenomena ini juga sering muncul di lingkungan kerja. Ketika ada rekan yang mulai mendapat perhatian lebih atau promosi, gosip langsung beredar. Cerita-cerita yang merendahkan pun mulai mengisi ruang percakapan. Bahkan, ada yang secara aktif menghambat ide atau proyek yang bisa membuat orang lain terlihat lebih unggul.