Kita sering merayakan kemerdekaan dengan penuh gegap gempita. Ada upacara bendera, lomba-lomba, dan deretan ucapan selamat di media sosial. Namun di balik semua itu, ada satu pertanyaan yang sering kita hindari: apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka? Bukan sekadar merdeka di atas kertas atau dalam catatan sejarah, tapi merdeka dalam arti yang paling nyata dan menyentuh kehidupan setiap warga. Pertanyaan ini mungkin terasa mengusik, bahkan bisa menimbulkan perdebatan. Tapi di usia 80 tahun, sudah saatnya kita bicara jujur.
Kemerdekaan yang Didefinisikan Ulang
Sejak 17 Agustus 1945, kita memegang teguh narasi bahwa Indonesia adalah negara merdeka. Kita punya bendera sendiri, bahasa sendiri, bahkan posisi strategis di mata dunia. Namun arti kemerdekaan itu sendiri berubah seiring zaman. Jika dulu kemerdekaan berarti bebas dari penjajahan fisik, kini harus dilihat dari sudut pandang yang lebih luas.
Merdeka berarti bebas menentukan arah bangsa tanpa tekanan asing, tapi juga berarti rakyatnya bisa hidup tanpa dibelenggu oleh kemiskinan, ketakutan, dan ketidakadilan. Di sinilah letak tantangannya. Banyak negara di dunia secara resmi merdeka, namun kehidupan rakyatnya tetap tergantung pada kekuatan luar, baik itu dalam ekonomi, teknologi, maupun politik. Indonesia pun tidak sepenuhnya luput dari kenyataan ini.
Kita memang memiliki kedaulatan politik, tetapi apakah kita punya kedaulatan penuh atas ekonomi? Banyak sektor vital kita masih bergantung pada impor, mulai dari bahan pangan, teknologi, hingga energi. Kita mengirim sumber daya alam mentah keluar negeri, lalu membeli kembali dalam bentuk produk jadi dengan harga berkali lipat. Ini bukan sekadar masalah perdagangan, tapi cermin dari kemandirian yang belum sepenuhnya tercapai.
Merdeka Secara Politik, Tergantung Secara Ekonomi
Politik dan ekonomi adalah dua sisi mata uang yang saling memengaruhi. Secara politik, Indonesia punya pemerintahan yang berdaulat, presiden yang dipilih rakyat, dan peraturan yang dibuat untuk kepentingan nasional. Tapi kenyataannya, banyak kebijakan ekonomi kita masih mengikuti arus global yang tidak selalu berpihak pada rakyat kecil.
Ketergantungan terhadap impor membuat harga-harga di dalam negeri rentan bergejolak. Krisis di satu negara produsen bisa langsung memukul pasar kita. Ketika harga minyak dunia naik, ongkos transportasi membengkak, harga pangan ikut terdorong, dan ujungnya daya beli masyarakat melemah. Dalam situasi seperti ini, apakah kita bisa bilang sudah merdeka?
Kemandirian ekonomi bukan sekadar slogan. Ia membutuhkan inovasi, riset, dan keberanian untuk mengolah potensi dalam negeri. Namun yang terjadi, banyak talenta muda justru kesulitan berkembang karena akses modal dan dukungan pemerintah yang minim. Akibatnya, kita terus menjadi pasar bagi produk luar, sementara produk lokal kesulitan menembus pasar internasional.
Yang ironis, sebagian besar kekayaan alam kita justru lebih dinikmati pihak asing. Sumber daya yang seharusnya menjadi modal pembangunan nasional sering kali diekspor dengan harga murah, lalu kita membeli kembali produk olahannya dengan harga mahal. Di sini kita perlu bertanya: kemerdekaan macam apa yang membiarkan hal ini terus terjadi?