Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

80 Tahun Indonesia, Tapi Sudahkah Kita Benar-Benar Merdeka?

11 Agustus 2025   12:03 Diperbarui: 11 Agustus 2025   12:03 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara 17 Agustus di Istana Merdeka ((BPMI Setpres/Laily Rachev))

Kebebasan Bersuara yang Masih Bersyarat

Di era media sosial, semua orang bisa bicara, memberi pendapat, dan menyebarkan informasi dalam hitungan detik. Secara teori, ini adalah bentuk kebebasan berekspresi yang luar biasa. Namun pada praktiknya, kebebasan itu sering kali dibatasi oleh norma sosial, regulasi yang kaku, atau bahkan ancaman hukum yang menimbulkan rasa takut.

Banyak orang yang memilih diam daripada bicara, bukan karena tidak punya pendapat, tapi karena takut pendapatnya disalahartikan atau dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Ruang diskusi publik sering kali berubah menjadi arena perdebatan penuh emosi, bukan pertukaran gagasan yang sehat.

Lebih jauh lagi, arus informasi di era digital membuat kita rentan terhadap manipulasi. Berita bohong, propaganda, dan polarisasi politik membuat publik sulit membedakan fakta dan opini. Dalam kondisi seperti ini, kebebasan berbicara bisa menjadi semu, karena yang sebenarnya merdeka adalah narasi yang dikendalikan oleh kelompok tertentu.

Kemerdekaan berekspresi sejati hanya bisa terwujud jika masyarakat memiliki literasi informasi yang kuat. Kita butuh keberanian untuk menyampaikan pendapat, tapi juga kebijaksanaan untuk mendengarkan dan memahami perbedaan. Tanpa itu, kebebasan hanya menjadi slogan yang indah tapi kosong makna.

Keadilan Sosial Janji yang Masih Tertunda

Kita semua hafal bunyi sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun setelah 80 tahun, seberapa jauh janji ini terpenuhi? Kesenjangan antara kaya dan miskin masih menganga. Akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan memadai, dan infrastruktur modern masih jauh dari merata.

Di kota besar, orang bisa dengan mudah mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik, sekolah bertaraf internasional, dan peluang kerja yang luas. Namun di banyak daerah terpencil, masyarakat masih harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan air bersih atau jalan yang layak dilalui. Ketimpangan ini bukan sekadar masalah distribusi, tapi juga masalah keberpihakan.

Kemerdekaan seharusnya dirasakan secara nyata oleh setiap warga, tanpa memandang di mana mereka tinggal atau dari keluarga mana mereka berasal. Namun selama kebijakan pembangunan lebih fokus pada pusat-pusat ekonomi tertentu, ketimpangan akan terus menjadi luka yang menggerogoti rasa persatuan.

Keadilan sosial juga menyangkut keadilan hukum. Masyarakat kecil sering kali merasa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi bayang-bayang yang sulit dihapus. Selama hukum belum bisa menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, kemerdekaan sejati akan tetap menjadi mimpi.

Merdeka dari Penjajah atau Merdeka dari Diri Sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun