Pinjaman online atau pinjol bukan lagi sekadar istilah digital. Ia telah menjelma menjadi fenomena sosial yang hidup di tengah masyarakat, terutama mereka yang terhimpit kebutuhan. Meski bahaya dan praktik curangnya sering diungkap media, nyatanya jumlah orang yang terjerat pinjol terus bertambah. Apa yang sebenarnya membuat pinjol begitu menggoda bagi banyak orang, bahkan ketika mereka tahu risikonya?
Ekonomi Informal yang Tak Pernah Diurus Serius
Salah satu akar masalah adalah Bank dan lembaga keuangan konvensional masih memberlakukan syarat-syarat yang tidak bisa dijangkau oleh mayoritas pelaku ekonomi informal. Tidak punya slip gaji? Tidak ada jaminan aset? Maka kamu dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman. Padahal, penghasilan mereka bisa jadi cukup, hanya saja tidak tercatat secara administratif. Inilah celah yang kemudian diisi oleh pinjol.
Pinjol  menawarkan kemudahan, kecepatan, dan janji manis. Tidak perlu tatap muka, cukup unggah KTP dan data pribadi, uang langsung masuk rekening. Proses ini jauh lebih cepat daripada harus antre di bank dengan harapan yang belum pasti. Sayangnya, karena tidak ada kontrol ketat dan edukasi menyeluruh, banyak yang tidak memahami bagaimana sistem bunga berbunga bisa menjadi jebakan yang sulit dilepaskan.
Sistem ekonomi kita sebenarnya ikut mendorong orang ke pelukan pinjol. Karena negara belum benar-benar menyediakan solusi inklusif dan terjangkau bagi mereka yang berada di luar jalur formal. Selama itu belum berubah, pinjol akan selalu punya pasar.
Ketika Rasa Malu dan Terburu-buru Jadi Kombinasi Mematika
Pinjol memanfaatkan kondisi ini dengan sangat cermat. Mereka hadir seperti teman yang tidak menghakimi. Tidak seperti keluarga atau teman yang mungkin bertanya macam-macam, pinjol hanya meminta data digital. Proses instan ini terasa seperti penyelamat, padahal bisa jadi awal bencana. Ironisnya, pinjol menjadi tempat "curhat" finansial karena aksesnya mudah dan tidak menuntut penjelasan.
Rasa malu juga menjadi penghalang terbesar untuk mencari pertolongan yang lebih sehat. Banyak orang lebih memilih meminjam ke pinjol karena mereka tidak ingin orang lain tahu bahwa mereka sedang kesulitan. Mereka takut dihakimi, bahkan oleh orang terdekat sekalipun. Padahal, komunikasi terbuka bisa jadi penyelamat. Sayangnya, stigma sosial terhadap utang justru memperparah situasi.
Kita butuh pemahaman baru bahwa tidak semua orang meminjam karena konsumtif. Banyak yang hanya ingin bertahan. Tapi cara bertahannya dilakukan dengan terburu-buru karena tekanan mental dan sosial yang besar. Inilah celah psikologis yang dimanfaatkan pinjol secara sistematis.
Literasi Finansial yang Terlambat Mengejar Teknologi