Bayangkan semangkuk bakso tanpa sambal, atau nasi goreng polos tanpa cabai rawit. Rasanya hampa, seperti kehilangan jiwa dari sebuah hidangan. Di Indonesia, makanan pedas bukan hanya soal rasa ini tentang kebiasaan, ekspresi, bahkan identitas. Tapi, pernahkah kamu bertanya lebih dalam: kenapa kita sebegitu tergila-gilanya sama rasa pedas?
Fenomena ini jauh lebih kompleks daripada sekadar "suka sambal". Ia berkaitan dengan sejarah, kondisi alam, kebiasaan sosial, hingga mekanisme biologis tubuh manusia yang sering kali tidak disadari.Â
Rasa Pedas Itu Ilusi, Tapi Efeknya Nyata
Kebanyakan orang mengira rasa pedas adalah salah satu dari rasa dasar seperti manis, asin, asam, dan pahit. Tapi secara ilmiah, pedas bukanlah rasa. Pedas adalah sensasi panas yang ditangkap oleh reseptor nyeri di lidah dan rongga mulut. Sensasi ini berasal dari senyawa aktif dalam cabai bernama capsaicin.
Capsaicin menipu otak seolah-olah kita sedang mengalami luka bakar. Tubuh lalu merespons dengan melepaskan endorfin dan dopamin dua hormon yang memicu perasaan nyaman, bahagia, bahkan euforia ringan. Inilah mengapa banyak orang merasa ketagihan dan terus mencari makanan pedas.
Efek ini disebut sebagai "pain-induced pleasure", kenikmatan yang muncul justru dari rasa sakit ringan. Menariknya, otak kita tidak bisa membedakan secara sempurna antara ancaman nyata dan sensasi yang dipicu oleh makanan. Jadi, ketika kamu kepedasan, tubuh akan bersikap seolah-olah sedang terluka, padahal kamu cuma sedang makan sambal.
Inilah salah satu alasan kenapa makan pedas bisa jadi candu. Ia memicu sistem reward otak, mirip seperti ketika seseorang berolahraga, jatuh cinta, atau bahkan berjudi. Bedanya, sensasi ini didapat hanya dengan satu sendok sambal.
Pedas sebagai Bahasa Sosial dan Ekspresi Budaya
Di Indonesia, sambal bukan cuma pelengkap makanan. Ia adalah simbol keakraban, pernyataan identitas, bahkan ajang unjuk keberanian. Coba perhatikan saat seseorang berkata, "Belum pedas kalau belum pakai 10 cabai rawit." Kalimat seperti ini bukan soal selera lidah semata, tapi tentang cara orang membentuk citra diri di hadapan orang lain.
Di banyak daerah, toleransi terhadap pedas juga menjadi bagian dari norma sosial. Masyarakat Sumatra, misalnya, terkenal dengan cita rasa masakannya yang membakar lidah. Tapi di balik itu, ada sistem budaya yang mengajarkan bahwa makanan beraroma kuat, berbumbu tegas, dan pedas menyala adalah simbol kejantanan, kekuatan, atau bahkan "kewibawaan rasa".