Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Gen Alpha Lebih Hafal Hero Mobile Legends daripada Pahlawan Negara

4 Juni 2025   08:00 Diperbarui: 4 Juni 2025   05:39 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bermain gadget(techcrunch.com) 

Pernah suatu hari, seorang guru sejarah bertanya pada murid SD kelas lima, "Siapa yang tahu nama asli Pangeran Diponegoro?" Hampir tak ada yang angkat tangan. Tapi saat ditanya, "Siapa yang jadi counter-nya Gusion di Mobile Legends?", hampir semua murid menjawab serempak, bahkan lengkap dengan tips dan build item-nya. Pertanyaannya bukan lagi kenapa ini bisa terjadi, tapi mengapa hal seperti ini kita biarkan terus berlangsung?

Fenomena ini bukan sekadar tren biasa. Ia adalah penanda zaman sebuah refleksi tajam tentang cara kita menanamkan nilai dan membentuk cara pikir generasi penerus bangsa. Gen Alpha bukan generasi yang malas atau apatis. Justru sebaliknya: mereka punya semangat ingin tahu yang tinggi. Tapi ketika daya pikir itu diarahkan sepenuhnya ke dunia fiktif tanpa keseimbangan realitas sejarah dan nilai nasional, yang terbentuk adalah generasi yang hafal build Alucard luar kepala, tapi tak tahu siapa yang memperjuangkan kemerdekaan yang hari ini mereka nikmati.

Dunia yang Dikuasai Gawai Waktu Bermain, Bukan Lagi di Lapangan

Kamu tidak perlu survei rumit untuk tahu bagaimana kebiasaan anak-anak sekarang. Cukup duduk di taman kota atau ditempat umum lain , kamu akan lihat satu pola yang hampir seragam: anak-anak usia 6 sampai 13 tahun lebih banyak menunduk menatap layar daripada berinteraksi dengan sekitar. Mereka bukan sedang membaca buku digital atau menjelajah sains, tapi kebanyakan sedang "push rank" di game seperti Mobile Legends, PUBG Mobile, atau Free Fire.

Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite (2024), rata-rata anak Indonesia yang sudah memiliki akses gawai menghabiskan 3 hingga 5 jam per hari bermain game online. Bandingkan dengan waktu belajar sejarah di sekolah yang hanya 1-2 jam per minggu. Ini bukan lagi sekadar ketidakseimbangan ini adalah jurang. Gawai memang menjadi bagian dari dunia mereka, tapi yang kita lupa: di tangan yang belum matang, konten bisa menjadi kompas nilai yang salah arah.

Sebuah penelitian dari Universitas Negeri Jakarta (2023) mengungkap bahwa 74% siswa SD dan SMP di kota besar lebih hafal nama-nama hero Mobile Legends daripada pahlawan nasional Indonesia. Sebanyak 61% bahkan tidak bisa menyebutkan lima nama pahlawan secara lengkap. Ini bukan sekadar soal hafalan, ini adalah masalah orientasi kebudayaan yang tereduksi oleh dunia digital yang tidak terkurasi.

Narasi Sejarah yang Terjebak di Ruang Kelas Kenapa Mereka Tidak Peduli?

Kita sering menyalahkan anak-anak karena tidak hafal sejarah bangsa, padahal kita sendiri yang menyajikan sejarah dengan cara yang membosankan dan tidak relevan. Sejarah nasional di buku teks masih disampaikan seperti daftar belanja: kaku, penuh angka, tanpa konteks yang menghidupkan imajinasi mereka. Padahal, sejarah adalah kumpulan kisah heroik, penuh konflik, intrik, drama, dan keberanian---sama menariknya bahkan lebih kompleks dibandingkan narasi di game favorit mereka.

Di sinilah letak permasalahan mendasar: kita gagal membuat anak-anak merasa "dekat" dengan para pahlawan. Mereka tidak melihat relevansi antara perjuangan Cut Nyak Dien dan hidup mereka hari ini. Padahal, jika dijelaskan dengan cara yang benar, kisah perjuangan Kartini bisa menjadi inspirasi tentang pemberdayaan perempuan, atau kisah Tan Malaka bisa membuka diskusi soal pemikiran bebas dan nasionalisme modern.

Penting juga dipahami bahwa pahlawan dalam game dirancang untuk menjadi tokoh yang "relatable", bisa dipilih, dimainkan, dikustomisasi, bahkan diberi skin. Mereka tidak hadir sebagai patung sejarah, tapi sebagai bagian dari aksi. Ini membuat mereka terasa lebih hidup daripada tokoh pahlawan nasional yang tidak pernah "berbicara" kepada anak-anak secara emosional. Kita sedang kalah di medan narasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun