Pernah suatu hari, seorang guru sejarah bertanya pada murid SD kelas lima, "Siapa yang tahu nama asli Pangeran Diponegoro?" Hampir tak ada yang angkat tangan. Tapi saat ditanya, "Siapa yang jadi counter-nya Gusion di Mobile Legends?", hampir semua murid menjawab serempak, bahkan lengkap dengan tips dan build item-nya. Pertanyaannya bukan lagi kenapa ini bisa terjadi, tapi mengapa hal seperti ini kita biarkan terus berlangsung?
Fenomena ini bukan sekadar tren biasa. Ia adalah penanda zaman sebuah refleksi tajam tentang cara kita menanamkan nilai dan membentuk cara pikir generasi penerus bangsa. Gen Alpha bukan generasi yang malas atau apatis. Justru sebaliknya: mereka punya semangat ingin tahu yang tinggi. Tapi ketika daya pikir itu diarahkan sepenuhnya ke dunia fiktif tanpa keseimbangan realitas sejarah dan nilai nasional, yang terbentuk adalah generasi yang hafal build Alucard luar kepala, tapi tak tahu siapa yang memperjuangkan kemerdekaan yang hari ini mereka nikmati.
Dunia yang Dikuasai Gawai Waktu Bermain, Bukan Lagi di Lapangan
Kamu tidak perlu survei rumit untuk tahu bagaimana kebiasaan anak-anak sekarang. Cukup duduk di taman kota atau ditempat umum lain , kamu akan lihat satu pola yang hampir seragam: anak-anak usia 6 sampai 13 tahun lebih banyak menunduk menatap layar daripada berinteraksi dengan sekitar. Mereka bukan sedang membaca buku digital atau menjelajah sains, tapi kebanyakan sedang "push rank" di game seperti Mobile Legends, PUBG Mobile, atau Free Fire.
Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite (2024), rata-rata anak Indonesia yang sudah memiliki akses gawai menghabiskan 3 hingga 5 jam per hari bermain game online. Bandingkan dengan waktu belajar sejarah di sekolah yang hanya 1-2 jam per minggu. Ini bukan lagi sekadar ketidakseimbangan ini adalah jurang. Gawai memang menjadi bagian dari dunia mereka, tapi yang kita lupa: di tangan yang belum matang, konten bisa menjadi kompas nilai yang salah arah.
Sebuah penelitian dari Universitas Negeri Jakarta (2023) mengungkap bahwa 74% siswa SD dan SMP di kota besar lebih hafal nama-nama hero Mobile Legends daripada pahlawan nasional Indonesia. Sebanyak 61% bahkan tidak bisa menyebutkan lima nama pahlawan secara lengkap. Ini bukan sekadar soal hafalan, ini adalah masalah orientasi kebudayaan yang tereduksi oleh dunia digital yang tidak terkurasi.
Narasi Sejarah yang Terjebak di Ruang Kelas Kenapa Mereka Tidak Peduli?
Kita sering menyalahkan anak-anak karena tidak hafal sejarah bangsa, padahal kita sendiri yang menyajikan sejarah dengan cara yang membosankan dan tidak relevan. Sejarah nasional di buku teks masih disampaikan seperti daftar belanja: kaku, penuh angka, tanpa konteks yang menghidupkan imajinasi mereka. Padahal, sejarah adalah kumpulan kisah heroik, penuh konflik, intrik, drama, dan keberanian---sama menariknya bahkan lebih kompleks dibandingkan narasi di game favorit mereka.
Di sinilah letak permasalahan mendasar: kita gagal membuat anak-anak merasa "dekat" dengan para pahlawan. Mereka tidak melihat relevansi antara perjuangan Cut Nyak Dien dan hidup mereka hari ini. Padahal, jika dijelaskan dengan cara yang benar, kisah perjuangan Kartini bisa menjadi inspirasi tentang pemberdayaan perempuan, atau kisah Tan Malaka bisa membuka diskusi soal pemikiran bebas dan nasionalisme modern.
Penting juga dipahami bahwa pahlawan dalam game dirancang untuk menjadi tokoh yang "relatable", bisa dipilih, dimainkan, dikustomisasi, bahkan diberi skin. Mereka tidak hadir sebagai patung sejarah, tapi sebagai bagian dari aksi. Ini membuat mereka terasa lebih hidup daripada tokoh pahlawan nasional yang tidak pernah "berbicara" kepada anak-anak secara emosional. Kita sedang kalah di medan narasi.