Di tengah megahnya narasi "Indonesia Emas 2045" dan semarak visi pembangunan sumber daya manusia unggul, ada satu pemandangan yang masih kita lihat nyaris setiap hari anak-anak berkeliaran di jalanan, menjajakan tisu, mengamen, atau hanya duduk diam menatap kosong di pinggir trotoar. Mereka adalah anak-anak jalanan, kelompok yang nyaris selalu luput dari percakapan penting tentang masa depan bangsa. Dan di balik itu semua, ada satu pertanyaan yang tak bisa kita abaikan lebih lama: Apa mereka tidak berhak juga untuk sekadar makan bergizi secara gratis?
Isu ini bukan sekadar empati atau retorika kemanusiaan. Ini soal keadilan. Ketika negara menggulirkan program makan bergizi untuk anak-anak sekolah guna menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas generasi mendatang, anak-anak yang hidup di luar sistem itu justru ditinggalkan. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa bicara soal kesetaraan jika sejak dari piring makan pun mereka tak diberi ruang?
Gizi Itu Hak, Bukan Privilege
Sebagian besar orang masih memandang program makan bergizi sebagai fasilitas seolah-olah itu adalah keuntungan tambahan bagi anak-anak yang bersekolah di tempat yang "benar" atau berasal dari keluarga yang "berhak". Padahal, gizi seimbang bukanlah privilese. Itu adalah hak dasar. Sama seperti hak hidup, hak tumbuh, dan hak dilindungi.
Konstitusi kita, dalam Pasal 28B ayat 2 UUD 1945, jelas menyebut bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Tidak ada klausul tambahan bahwa hak ini hanya berlaku bagi anak-anak yang duduk di bangku sekolah formal. Artinya, negara punya kewajiban penuh untuk memastikan bahwa semua anak termasuk yang hidup di jalan mendapatkan asupan gizi yang layak.
Namun dalam praktiknya, program makan bergizi masih sangat terbatas pada lingkungan formal. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk sekolah, posyandu, atau lembaga tertentu yang memiliki struktur administratif. Lantas, di mana tempat bagi mereka yang tidak memiliki akta lahir, tidak tercatat di sistem, atau bahkan tidak punya rumah?
Fakta Lapangan Anak Jalanan dan Realitas Gizi Buruk
Data dari Kementerian Sosial menunjukkan bahwa hingga saat ini masih ada puluhan ribu anak jalanan di Indonesia, tersebar di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Sebagian besar dari mereka hidup tanpa pengawasan orang tua, rentan terhadap eksploitasi, dan yang paling mengkhawatirkan tidak mendapatkan makanan yang layak secara rutin.
Penelitian yang dilakukan oleh sejumlah LSM dan lembaga akademik menunjukkan fakta yang cukup mengerikan: lebih dari 65% anak jalanan mengalami kekurangan gizi kronis, sementara sisanya rentan terhadap infeksi karena pola makan tidak higienis dan tidak bergizi. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrem, ditemukan anak-anak yang tidak makan nasi selama berhari-hari dan hanya mengandalkan makanan sisa dari tempat sampah restoran.