Di negeri ini, kamu bisa menyaksikan satu fenomena aneh yang terus berulang publik lebih cepat marah soal ijazah palsu ketimbang anak-anak yang putus sekolah. Isu ijazah Presiden Jokowi kembali menjadi bola liar yang digelindingkan dengan penuh semangat. Tapi di balik keramaian itu, satu hal justru makin sepi dibicarakan yaitu ketimpangan pendidikan yang terus melebarkan jurang sosial di antara kita.
Isu pendidikan bukan hal yang seksi di tengah kontestasi politik. Tapi ketika kamu menyelami lebih dalam, kamu akan sadar bahwa semua persoalan besar negeri ini, dari kemiskinan hingga radikalisme, hampir selalu punya akar yang sama: ketidakadilan dalam akses dan kualitas pendidikan. Jadi, kenapa kita lebih heboh soal dokumen ijazah ketimbang hak dasar jutaan anak untuk belajar?
Ketimpangan yang Tidak Pernah Benar-Benar Disadari
Mari kita mulai dari sini. Banyak orang mengira sistem pendidikan di Indonesia sudah membaik. Faktanya? Masih sangat timpang, bahkan di dalam satu provinsi yang sama. Di Jakarta, anak-anak bisa belajar di ruang kelas ber-AC, dengan akses internet cepat dan guru berkualifikasi. Tapi coba menyeberang ke pelosok NTT atau pedalaman Papua. Kamu akan temui sekolah dengan dinding bambu, murid yang duduk di lantai, dan guru honorer yang digaji tak lebih dari Rp500 ribu sebulan.
Data BPS (2023) menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya 8,9 tahun. Itu berarti, banyak anak Indonesia yang bahkan tidak lulus SMA. Dan kalau kamu lihat lebih detail, daerah dengan angka pendidikan rendah biasanya tumpang tindih dengan wilayah termiskin. Artinya, pendidikan bukan hanya soal belajar, tapi juga soal kesempatan hidup yang lebih baik.
Ini bukan hanya masalah infrastruktur. Kurikulum yang terlalu seragam dan tidak kontekstual juga jadi masalah besar. Anak-anak di pegunungan Papua dipaksa mempelajari hal-hal yang tidak nyambung dengan realitas mereka. Guru dituntut menuntaskan materi, bukan mendidik manusia. Pendidikan menjadi proses yang kehilangan makna karena tidak mampu menjawab kebutuhan lokal maupun masa depan global.
Narasi Elitis yang Mengaburkan Realita
Perdebatan soal ijazah Jokowi memperlihatkan satu hal lain yang menarik kita sangat terobsesi dengan simbol formal pendidikan, tapi lupa pada tujuan pendidikan itu sendiri . Kita lebih peduli pada selembar kertas ijazah ketimbang kualitas proses belajar yang melahirkan kemandirian berpikir.
Yang lebih mengkhawatirkan, diskusi publik soal pendidikan cenderung minim malah terkesan tutup mata . Kita bicara tentang ranking universitas, akreditasi kampus, dan kompetisi internasional, tapi menutup mata pada ribuan sekolah dasar yang kekurangan buku, atau guru-guru desa yang harus mengajar empat kelas sekaligus.
Ini menciptakan semacam narasi palsu bahwa pendidikan itu soal prestise, bukan keberdayaan. Tak heran kalau akhirnya masyarakat lebih terpancing ketika mendengar kabar soal "ijazah palsu" ketimbang laporan tahunan tentang rendahnya literasi anak-anak Indonesia. Ironis, tapi nyata di negara ini .