Namun untuk itu, kamu harus mengubah cara pandang soal “bekerja”. Tidak lagi menunggu panggilan, tapi menciptakan peluang. Bukan hanya mencari pekerjaan, tapi membangun keahlian yang bisa “dijual” ke pasar global.
Portofolio Lebih Bicara dari CV
Masih banyak Gen Z yang terjebak pada logika konvensional yaitu lulus, bikin CV, kirim lamaran, lalu tunggu balasan. Padahal, kenyataan hari ini tidak seindah itu. Banyak HRD bahkan tak membaca CV sampai habis. Mereka mencari sesuatu yang bisa langsung “dilihat” dan “dirasakan”. Maka, portofolio menjadi kartu truf yang tak bisa diabaikan.
Di era digital, kamu dituntut punya jejak karya. Kalau kamu desainer, mana hasil desainmu? Kalau kamu penulis, mana artikelmu? Kalau kamu marketer, mana campaign-mu? Dunia tidak menilai dari apa yang kamu katakan bisa, tapi dari apa yang sudah kamu buktikan pernah lakukan. Portofolio jadi bukti nyata bahwa kamu bukan cuma teori.
Dan menariknya, kamu tidak harus menunggu proyek “resmi” untuk membuatnya. Banyak Gen Z hari ini yang membangun portofolio dari project passion, akun media sosial pribadi, atau bahkan konten TikTok yang edukatif. Dunia kerja kini lebih menghargai inisiatif daripada formalitas. Bahkan perusahaan teknologi besar seperti Google dan Tesla sudah tidak lagi mewajibkan gelar sarjana. Mereka lebih peduli pada skill dan hasil kerja nyata.
Belajar Bukan Lagi di Sekolah atau Kampus
Kalau kamu pikir setelah kuliah selesai kamu bisa berhenti belajar, maka kamu sedang menggali lubang untuk masa depanmu sendiri. Di era digital, belajar bukan lagi tugas siswa, tapi kebutuhan hidup. Skill yang kamu kuasai hari ini bisa jadi basi dalam dua tahun ke depan. Dunia bergerak terlalu cepat untuk orang yang diam.
Artificial Intelligence, blockchain, augmented reality, data science semuanya berkembang pesat. Dan celakanya, tidak semua hal itu diajarkan di kampus. Maka, kamu perlu mengubah pola pikir: belajar itu bukan kewajiban dari dosen atau guru, tapi tanggung jawab pribadi. Apalagi sekarang semua ada di ujung jari. Kamu bisa belajar gratis di YouTube, ikut kursus murah di Udemy, atau ambil sertifikasi internasional secara daring.
Dan ini kabar baik bagi kamu yang merasa “bukan anak pintar”. Karena di era digital, yang dihargai bukan sekadar kepintaran, tapi ketekunan. Kamu tidak perlu menjadi yang terbaik sejak awal. Tapi kamu harus menjadi yang terus berkembang setiap hari.
Dunia Digital Tidak Ramah, Tapi Bisa Ditaklukka
Meski era digital memberi banyak peluang, ia juga menghadirkan tekanan besar. Ekspektasi tinggi, budaya kerja yang cepat, persaingan global, dan ketidakpastian ekonomi semua jadi tantangan nyata. Banyak Gen Z yang merasa cemas, burnout, bahkan kehilangan arah. Di sinilah pentingnya membangun daya tahan mental selain karir.