Pernahkah kamu bertanya kenapa sekolah yang katanya tempat belajar justru terasa seperti mesin produksi seragam? Setiap pagi, jutaan siswa berbaris masuk kelas dengan wajah yang sama lelah, jenuh, dan nyaris kehilangan rasa ingin tahu. Guru, yang seharusnya jadi pelita dalam ruang belajar, seringkali justru terjebak dalam tumpukan laporan, target kurikulum, dan tekanan administratif. Lalu di mana letak kebebasan dalam pendidikan yang katanya memerdekakan?
Dan inilah saatnya kita bicara soal perubahan bukan perubahan kosmetik, tapi perubahan cara berpikir tentang apa itu pendidikan dan untuk siapa ia sebenarnya diciptakan.
Sekolah Telah Lama Kehilangan Tujuannya
Dari luar, sekolah tampak megah. Ada gedung tinggi, fasilitas, teknologi baru, bahkan proyek "digitalisasi kelas". Tapi benarkah semua itu mencerminkan kemajuan pendidikan? Faktanya, sistem pendidikan Indonesia masih sangat sentralistik, kaku, dan tidak adaptif terhadap kebutuhan lokal. Kurikulum pendidikan ditentukan dari pusat dan diterapkan rata di semua wilayah, seolah semua anak di Indonesia punya kebutuhan, latar belakang, dan daya serap yang sama.
Inilah pangkal masalah yang jarang disorot: kita terlalu sibuk membenahi permukaan, tapi melupakan esensi. Sekolah menjadi tempat mengejar nilai, bukan membentuk nilai. Siswa dilatih untuk mengingat, bukan memahami. Diajari untuk patuh, bukan berpikir mandiri. Akibatnya, kita menciptakan generasi yang mahir mengikuti perintah, tapi gagap saat harus mengambil keputusan sendiri. Parahnya lagi, ini bukan hanya terjadi di kalangan siswa, tapi juga guru.
Guru yang seharusnya menjadi fasilitator dalam pendidikan, justru diharuskan menyelesaikan materi dalam waktu tertentu, tanpa cukup ruang untuk berinovasi. Banyak dari mereka akhirnya mengajar karena kewajiban, bukan karena hati. Tak sedikit guru yang frustrasi, kehilangan gairah, dan merasa teralienasi dari profesinya sendiri. Di titik ini, kita harus jujur mengatakan bahwa sistemnya yang gagal bukan gurunya.
Kurikulum Pendidikan Harus Luwes, Bukan Patok Mati
Satu dari sekian hal yang menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia adalah kurikulum pendidikan yang terlalu padat, terlalu ambisius, dan terlalu seragam. Idealnya, kurikulum bukan sekadar daftar isi materi, tapi juga harus jadi alat navigasi pembelajaran yang fleksibel dan kontekstual. Namun kenyataannya, kita terjebak dalam model kurikulum nasional yang serba ditentukan dari atas.
Kurikulum 2013, misalnya, punya semangat yang bagus dalam integrasi karakter dan pembelajaran tematik. Tapi implementasinya justru membuat guru kesulitan. Banyak guru merasa tidak cukup waktu dan sumber daya untuk menjalankan pendekatan saintifik yang disyaratkan. Sementara itu, pelatihan guru cenderung formalistik dan jarang menyentuh realita di kelas.
Hal yang lebih penting namun sering luput adalah pengakuan terhadap konteks lokal. Anak-anak di pedalaman Papua jelas punya kebutuhan dan tantangan yang berbeda dengan siswa di pusat Jakarta. Tapi mengapa materi, standar penilaian, dan bahkan waktu belajar mereka harus sama? Ketika kurikulum diubah menjadi alat pemerataan, justru kehilangan keadilan. Karena keadilan sejati bukan menyamakan, tapi memberi sesuai kebutuhan.