Pernah nggak kamu merasa susah banget untuk fokus baca satu halaman buku aja, padahal niatnya cuma mau santai sepuluh menit? Belum juga paragraf kedua selesai, notifikasi dari HP udah bunyi. Grup WA komunitas rame, scroll Instagram satu dua menit, tahu-tahu udah sejam lewat.
Masalah utama yang dihadapi generasi muda hari ini bukan soal mau atau nggaknya membaca. Tapi soal bagaimana caranya bisa diam cukup lama untuk benar-benar menyerap sesuatu. Dunia tempat kita hidup sekarang sangat bising bukan cuma secara suara, tapi secara perhatian. Dan di dunia yang seperti ini, aktivitas yang menuntut fokus dan kesabaran seperti membaca jadi terasa makin asing  untuk beberapa dari kita.
Makanya, waktu kita bicara soal minat baca, kita nggak bisa lagi menyalahkan generasi muda karena dianggap malas atau nggak peduli. Faktanya, mereka hidup di medan yang penuh distraksi, dan narasi tentang membaca sebagai "kewajiban moral" nggak lagi relevan. Bukan mereka yang berubah malas, tapi cara kita memahami membaca yang harus diperbarui.
Literasi Gagal Rebranding Kenapa Bacaan Masih Dianggap Beban
Selama ini, literasi di sekolah identik dengan tugas. Kalau nggak disuruh, ya nggak dikerjain. Buku seringkali hadir sebagai simbol beban dan tututan untuk mereka, bukan jendela pengetahuan. Dan itu bukan salah siswa. Itu kesalahan sistem yang lupa bahwa membaca seharusnya menumbuhkan rasa ingin tahu, bukan rasa takut nilai jelek.
Coba kamu pikir kapan terakhir kali kamu membaca sesuatu yang bikin kamu merasa lebih ngerti dunia? Bukan karena disuruh, tapi karena ingin mencari tahu itu secara lebih mendalam. Itulah literasi yang hidup. Literasi yang membuat seseorang merasa diperluas, bukan dihakimi. Ironisnya, kita hidup di era dengan akses informasi tak terbatas kapan dan dimana saja kita dapat mengakses informasi, tapi kurikulum kita masih mengajarkan membaca seperti zaman mesin tik.
Literasi gagal rebranding karena ia tidak bertransformasi bersama budaya. Kita masih mengukur keberhasilan membaca dengan jumlah halaman, bukan kedalaman pemahaman yang kita daat ketika membaca. Dan parahnya, kita lupa bahwa membaca seharusnya bukan hanya tentang buku. Ini tentang bagaimana seseorang berinteraksi dengan informasi, menangkap makna, mengolah emosi, lalu mengubahnya menjadi tindakan atau pemikiran baruyang bisa berguna untuk dirinya dan lingkungan disekitarnya.
Minat Baca Harus Dibangkitkan, Bukan Dihukum
Salah satu kesalahan besar dalam upaya membangun minat baca adalah pendekatannya yang terlalu normatif. Kampanye literasi sering terdengar seperti ceramah yaitu "Membaca itu penting, ayo biasakan membaca!" Tapi, kita semua tahu, sesuatu yang diceramahi terus-menerus tanpa kontekstualisasi malah bikin malas.
Minat baca itu seperti tanaman. Butuh tanah yang subur, bukan hanya disiram tiap hari dengan slogan. Generasi muda sekarang bukan tak punya minat baca, mereka hanya belum menemukan bacaan yang nyambung dengan realitas hidup mereka. Banyak dari mereka sebenarnya suka membaca hanya saja bukan dalam bentuk yang kita anggap "serius".