Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Kebiasaan Tanpa Terdistraksi Media Sosial

22 Februari 2025   15:05 Diperbarui: 22 Februari 2025   13:27 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Media Sosial.Pixabay.com/Erik_Lucatero

Bayangkan ini: pagi hari yang cerah, secangkir kopi mengepul di atas meja, buku yang sudah lama ingin kamu baca akhirnya terbuka di depan mata, atau mungkin laptop sudah menyala dengan dokumen kerja yang siap kamu garap. Namun, sebelum benar-benar memulai, jemari secara otomatis meraih ponsel. Sebuah notifikasi muncul ada pesan masuk, berita terbaru yang sedang ramai dibahas, atau sekadar konten hiburan yang menarik perhatian. Tanpa sadar, waktu berjalan begitu cepat. Lima menit yang awalnya diniatkan untuk sekadar mengecek, berubah menjadi 30 menit atau bahkan satu jam penuh. Ketika akhirnya kembali ke aktivitas awal, fokus sudah terpecah, semangat pun perlahan memudar.

Fenomena ini bukan sekadar kejadian biasa yang bisa diabaikan begitu saja. Distraksi digital, terutama dari media sosial, telah menjadi bagian dari kehidupan manusia modern. Jika dulu distraksi datang dari lingkungan sekitar, kini distraksi hadir dalam genggaman, selalu tersedia setiap saat, kapan pun kita ingin mengaksesnya. Hal ini bukan lagi tentang kebiasaan buruk semata, tetapi juga tentang bagaimana otak manusia telah mengalami perubahan akibat paparan teknologi yang terus-menerus.

Dalam dunia yang semakin terhubung ini, tantangan terbesar bukan lagi sekadar membangun kebiasaan baik, tetapi bagaimana mempertahankan kebiasaan tersebut tanpa terganggu oleh dorongan impulsif untuk terus mengecek media sosial. Ini bukan hanya tentang mengatur waktu atau memiliki niat yang kuat, tetapi juga memahami bagaimana mekanisme otak bekerja, bagaimana media sosial dirancang untuk menarik perhatian, dan bagaimana kita bisa mengambil kembali kendali atas fokus serta produktivitas kita.

Media Sosial dan Ilusi Produktivitas Mengapa Kita Terjebak?

Tidak bisa dimungkiri bahwa media sosial telah memberikan manfaat besar bagi kehidupan modern. Komunikasi menjadi lebih mudah, akses informasi semakin cepat, dan peluang untuk membangun jaringan profesional terbuka lebar. Namun, di sisi lain, media sosial juga menciptakan ilusi produktivitas yang sering kali menyesatkan.

Banyak orang yang merasa bahwa menghabiskan waktu di media sosial adalah bagian dari aktivitas yang bermanfaat. Membaca berita terbaru, mengikuti perkembangan industri, atau sekadar berbincang dengan teman-teman bisa dianggap sebagai bentuk keterlibatan yang positif. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, sebagian besar dari aktivitas ini tidak memberikan nilai tambah yang nyata. Informasi yang dikonsumsi sering kali bersifat dangkal, cepat terlupakan, atau bahkan tidak relevan dengan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai.

Sebuah studi dari Harvard Business Review menemukan bahwa orang yang sering beralih antara pekerjaan dan media sosial mengalami penurunan kualitas kerja yang signifikan. Hal ini terjadi karena setiap kali seseorang terganggu oleh notifikasi atau dorongan untuk memeriksa media sosial, otaknya membutuhkan waktu untuk kembali fokus. Efek ini disebut sebagai attention residue, yaitu sisa perhatian yang masih tertinggal pada aktivitas sebelumnya, sehingga mengurangi kemampuan otak untuk berpikir secara mendalam pada tugas yang sedang dikerjakan.

Dalam dunia kerja dan pendidikan, dampak dari gangguan ini sangat terasa. Banyak orang yang merasa sibuk sepanjang hari, tetapi ketika melihat hasil akhirnya, tidak banyak pekerjaan yang benar-benar terselesaikan. Ini karena energi kognitif mereka terkuras oleh aktivitas yang tidak sepenuhnya produktif.

Lebih dari itu, media sosial juga menciptakan lingkaran dopamin, di mana setiap interaksi kecil---seperti mendapatkan "like", komentar, atau melihat sesuatu yang menarik memicu pelepasan dopamin di otak. Dopamin adalah neurotransmitter yang berperan dalam sistem penghargaan, yang membuat kita merasa senang dan ingin mengulangi perilaku yang sama. Dalam jangka panjang, otak menjadi terbiasa dengan rangsangan instan ini, sehingga tugas-tugas yang lebih membutuhkan konsentrasi---seperti membaca buku, menulis, atau mengerjakan proyek jangka panjang terasa lebih sulit untuk dilakukan.

Dari Menurunnya Kapasitas Fokus hingga Gangguan Kesehatan Mental

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun