Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Era Digital Sikap Empati Makin Tinggi atau Kian Luntur?

21 Februari 2025   14:24 Diperbarui: 21 Februari 2025   14:24 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Empati.Pixabay.com/MalvarrosaDesigns

1. Pola Konsumsi Informasi yang Cepat dan Singkat

Di dunia digital, informasi tersebar dengan sangat cepat. Media sosial dan platform berita online sering kali menyajikan informasi dalam format yang singkat dan mudah dicerna. Meskipun ini memudahkan orang untuk tetap mendapatkan berita terbaru, konsumsi informasi yang serba cepat dapat membuat seseorang kurang mendalami isu-isu sosial dengan lebih dalam.

Ketika seseorang hanya membaca berita secara sekilas tanpa benar-benar memahami konteksnya, respons emosional mereka juga menjadi lebih dangkal. Mereka mungkin merasa prihatin sejenak terhadap suatu peristiwa tragis, tetapi perhatian mereka dengan cepat beralih ke topik lain tanpa adanya tindakan nyata.

2. Anonimitas dan Kurangnya Akuntabilitas di Dunia Maya

Salah satu tantangan terbesar dalam komunikasi digital adalah anonimitas. Ketika seseorang merasa tidak dikenali, mereka cenderung lebih berani dalam menyampaikan opini yang mungkin kurang mempertimbangkan perasaan orang lain. Hal ini terlihat dalam maraknya ujaran kebencian, perundungan daring, serta penyebaran informasi yang menyesatkan.

Banyak orang yang merasa bebas untuk bersikap kasar atau tidak peduli terhadap dampak emosional dari komentar yang mereka buat di media sosial. Tanpa konsekuensi sosial yang nyata, individu cenderung kurang mempertimbangkan empati dalam interaksi digital mereka.

3. Pola Interaksi yang Semakin Individualistis

Meskipun teknologi memungkinkan manusia untuk tetap terhubung, ironi yang terjadi adalah banyak orang justru semakin merasa kesepian. Media sosial sering kali menciptakan ilusi koneksi sosial, padahal banyak hubungan yang terjalin secara digital tidak memiliki kedalaman emosional yang sama dengan interaksi langsung.

Selain itu, budaya digital yang menekankan pada pencitraan diri membuat banyak orang lebih fokus pada kehidupan mereka sendiri daripada memahami pengalaman orang lain. Banyak pengguna media sosial lebih tertarik untuk membagikan pencapaian pribadi mereka dibandingkan menanggapi atau memahami kesulitan yang dialami oleh orang lain.

4. Meningkatnya Polarisasi dan Konflik Sosial

Era digital juga ditandai dengan meningkatnya polarisasi dalam masyarakat. Algoritma media sosial sering kali menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, menciptakan "ruang gema" (echo chamber) di mana seseorang hanya terpapar pada perspektif yang sejalan dengan pandangan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun