Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waktu adalah Harta yang Terlupakan oleh Masyakat Kita

7 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 7 Desember 2024   14:44 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pasir Waktu.Pixabay.com/FunkyFocus 

Di sebuah sore yang tenang, seorang pria duduk di bangku taman sambil mengamati anak-anak bermain. Ia menghela napas panjang, matanya memandang jam tangan yang sudah usang. "Seandainya saja aku bisa kembali ke masa lalu," gumamnya lirih.

 Kisah pria ini adalah cerminan kita semua sering kali baru menyadari betapa berharganya waktu ketika sudah terlambat. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada individu, tetapi juga menjadi masalah kolektif di masyarakat kita. Sayangnya, penghargaan terhadap waktu masih menjadi persoalan yang sering diabaikan.

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budaya dan tradisi. Namun, di balik itu semua, ada kebiasaan yang ironisnya justru menghambat kemajuan: kurangnya penghargaan terhadap waktu. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam akar masalah ini, dampaknya bagi kehidupan, serta solusi untuk mengatasinya.

Minimnya Penghargaan terhadap Waktu

Secara teoritis, hampir setiap orang memahami bahwa waktu adalah aset yang tidak bisa diperbarui. Namun, praktiknya jauh dari ideal. Dalam budaya kita, ada kebiasaan yang hampir menjadi norma, yaitu tidak menghormati waktu. Contoh paling nyata adalah budaya ngaret atau terlambat.

Bayangkan sebuah acara dimulai pukul 10 pagi. Panitia telah menyusun jadwal dengan matang, tetapi pada kenyataannya acara baru benar-benar dimulai satu jam kemudian. Para tamu undangan datang terlambat, sementara sebagian peserta terlihat santai tanpa merasa bersalah. "Santai saja, belum mulai," sering kali menjadi alasan yang digunakan untuk membenarkan keterlambatan.

Budaya ngaret ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dalam acara informal, tetapi juga dalam kegiatan resmi, seperti rapat kerja atau bahkan pelayanan publik. Akibatnya, waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk hal produktif terbuang sia-sia.

Rendahnya penghargaan terhadap waktu juga tercermin dalam kebiasaan buruk dalam mengatur prioritas. Misalnya, seseorang sering kali menunda pekerjaan hingga mendekati tenggat waktu. Ini menciptakan tekanan yang tidak perlu dan berujung pada hasil kerja yang kurang maksimal.

Sebuah penelitian oleh McKinsey menunjukkan bahwa rata-rata individu menghabiskan hampir 28% dari waktunya untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti membuka media sosial secara berlebihan atau melakukan aktivitas yang tidak relevan dengan tujuan hidupnya. Data ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita belum memiliki kesadaran penuh akan pentingnya pengelolaan waktu.

  • Pentingnya Persepsi tentang Nilai Waktu

Sebagian besar orang tidak melihat waktu sebagai aset yang bernilai ekonomi. Mereka lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat material, seperti uang atau barang. Padahal, waktu adalah sumber daya yang jauh lebih langka. Dalam dunia bisnis, misalnya, setiap menit keterlambatan dalam pengambilan keputusan bisa berarti kehilangan peluang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun