Mohon tunggu...
Franhky Wijaya
Franhky Wijaya Mohon Tunggu... Praktisi Perencanaan Properti

Setelah bertahun-tahun berkecimpung di dunia properti, saya merasa waktunya berbagi insight yang bisa berguna bagi sesama praktisi dan keluarga Indonesia. Fokus saya di bidang perencanaan, mulai dari pengembangan rumah tapak, ruko, pergudangan, hingga apartemen.

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Rumah yang Tak Pernah Meminta Kita Sempurna

2 Oktober 2025   10:54 Diperbarui: 2 Oktober 2025   13:09 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inspirasi desain ruang tamu dalam pameran Local Heroes yang diadakan Kisah Ruang.(Dok Kisah Ruang via Kompas.com)

Saya pernah duduk di ruang tamu seorang teman, rumahnya dua lantai, tidak terlalu besar, tapi terasa hidup. Di lantai ada mainan anak yang belum dibereskan, di rak buku juga ada tumpukan dokumen kerja yang belum sempat disusun. 

Si teman menyuguhkan teh hangat sambil berkata, "Rumah ini memang berantakan, tapi saya merasa bisa bernapas di sini." Kalimat itu sederhana, tapi dalam. Saya diam sejenak, lalu tersenyum. Karena saya tahu persis apa yang ia maksud.

Sebagai arsitek, saya terbiasa melihat rumah dari sisi teknis seperti proporsi ruang, pencahayaan, sirkulasi udara ataupun efisiensi fungsi. Tapi semakin lama saya berada di dunia arsitektur dan realita hidup, semakin saya sadar bahwa rumah bukan hanya soal bentuk atau fasade. Ia juga seperti ruang hidup yang tumbuh bersama penghuninya. Dan yang paling penting, rumah tidak pernah meminta kita menjadi versi yang paling sempurna.

Teman saya itu, usianya sekitar tiga puluhan, tinggal bersama pasangan dan mempunyai satu anak balita. Dulu, ia punya impian rumah minimalis yang bersih dan tertata seperti di majalah-majalah interior. Tapi setelah anaknya lahir, semuanya berubah. Dinding yang dulu putih kini penuh coretan. Ruang tamu yang dulu lapang kini dipenuhi benda-benda kecil. Ia sempat merasa gagal, merasa rumahnya tidak lagi ideal. 

Setiap kali berkunjung ke rumahnya, selalu minta maaf karena rumahnya berantakan. Tapi lama-lama ia sadar atau mungkin sudah pasrah, rumah bukan tempat untuk show off, melainkan tempat untuk tumbuh. Ia mulai menerima bahwa rumah yang baik bukan yang selalu rapi, tapi yang bisa menampung semua fase hidup dengan jujur.

Saya pun teringat pada proyek kecil yang pernah saya kerjakan untuk pasangan muda yang bekerja dari rumah. Mereka ingin ruang kerja yang nyaman, tapi tidak terpisah dari kehidupan keluarga. Kami tidak membuat ruang kerja eksklusif, melainkan menyatukannya dengan ruang keluarga. Meja kerja diletakkan di dekat jendela, rak arsip menyatu dengan rak mainan anak, dan pencahayaan dibuat fleksibel agar bisa dipakai siang dan malam. Hasilnya bukan ruang yang steril, tapi ruang yang hidup. 

Mereka bilang, "Kami nggak harus jadi produktif terus, tapi kami bisa tetap hadir di tengah keluarga."

Dalam desain seperti itu, arsitektur bukan soal estetika, tapi soal empati dan peka dengan lingkungan. Kita tidak mendesain untuk menciptakan kesan "wah", tapi untuk mendukung kehidupan nyata. Orang muda usia 30--40 tahun sedang berada di fase transisi, yaitu membangun karier, membesarkan anak, merawat hubungan, dan mencari ruang untuk diri sendiri. Rumah yang baik adalah rumah yang bisa mengikuti ritme itu, bukan yang memaksakan standar tertentu.

Saya juga pernah membantu seorang teman yang baru pindah ke rumah kecil di pinggiran kota. Ia ingin punya ruang untuk bisa bekerja dari rumah, tapi di rumah itu tidak punya kamar tambahan. Kami ubah sudut ruang makan menjadi ruang kerja kecil. Meja lipat dipasang di dinding, kursi ergonomis diselipkan di antara rak piring, dan lampu baca dipasang di atas jendela. 

Ia bilang, "Saya nggak butuh ruang besar, saya cuma butuh ruang yang "mengerti" saya dan saya nyaman dengan ruang itu." Dan memang, rumah yang baik bukan yang luas, tapi yang bisa mendengarkan kebutuhan penghuninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun