Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

13 Tahun Kompasiana: Voice dari Seorang Anak Peladang

30 Oktober 2021   16:54 Diperbarui: 30 Oktober 2021   17:01 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu kali saya pernah mengirim sebuah artikel opini terkait dengan kearifan berladang suku Dayak kepada salah satu website yang secara khusus menyajikan berita-berita tentang Gereja Katolik maupun isu-isu lain yang mempengaruhi kehidupan komunitas Katolik.

Dalam artikel tersebut saya menempatkan kearifan berladang suku Dayak sebagai locus theologicus (ruang berteologi). Artinya, konteks kebudayaan lokal menjadi medan pewartaan Gereja dalam menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus. Gereja Katolik meyakini bahwa Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia itu mempunyai hubungan yang sangat erat.

Oleh website yang bersangkutan, sama seperti artikel-artikel dari penulis lainnya, artikel saya itu dibagikan di akun Facebook. Di dalam kolom komentar saya menemukan ada seorang netizen yang menanggapi artikel saya dengan cukup panjang. 

Di akhir komentarnya, dia memberikan masukan kepada teolog budaya - begitu istilah yang dia gunakan - agar refleksi tidak hanya berhenti pada hal-hal teologis saja, tapi juga menyentuh pada hal-hal kebijakan praktis tentang bagaimana metode lain dalam membuka dan menggarap ladang selain dari membakar.

Saya menahan diri untuk tidak membalas komentar tersebut. Saya berpikir sudah ada pihak-pihak terkait yang berkompeten dalam memikirkan metode yang tepat bagi masyarakat Dayak dalam berladang, jika memang cara membakar tidak lagi diperbolehkan.

Dengan melihat kearifan berladang dari perspektif teologis, saya hanya mau menunjukkan bahwa kodrat manusia dan konteks manusia itu sendiri adalah baik, kudus dan bernilai. Bila Gereja ingin sungguh menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia, atau bila pemerintah dengan segala kebijakan peraturan yang dikeluarkan bertujuan mendatangkan kebaikan bersama (bonum commune), maka kenyataan tentang kodrat manusia dan konteksnya itu sama sekali tidak boleh diabaikan.

***

Masih minimnya jumlah artikel yang pernah ditulis bukan berarti tidak mendatangkan manfaat sama sekali. Di saat beberapa rekan K-ners mendapatkan K-Rewards dalam bentuk sejumlah nominal uang, saya juga mendapatkan "K-Rewards" dalam bentuk yang lain.

Beberapa hari yang lalu, saya kaget ketika ada salah seorang mahasiswa mengirim e-mail ke saya. Dia adalah mahasiswa di salah satu Universitas Negeri di Pontianak. Mengambil jurusan antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).

Di dalam e-mail tersebut dia mengatakan kalau sedang menggarap sebuah tugas yang topiknya berkaitan dengan salah satu seni budaya dalam suku Dayak Desa, yakni kana. Tentang apa itu kana silakan baca di sini.

Dengan sangat jujur dia mengatakan kalau mengalami kesulitan menemukan sumber referensi tentang suku Dayak Desa dan tentang seni kana itu sendiri. Di tengah kesulitannya itu, dia pergi bertanya ke Mbah Google lalu memasukkan beberapa kata kunci terkait dengan suku Dayak Desa. Dan, dia pun menemukan beberapa artikel yang sudah pernah saya tulis di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun