Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kataku kepada Diri Sendiri: "Jangan Kehilangan Harapan!"

29 Juli 2020   05:46 Diperbarui: 29 Juli 2020   05:48 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: terang-sabda.com

Sudah hampir genap satu bulan saya bergabung di Kompasiana. Entah karena kebetulan atau tidak, rupanya sudah ada 17 artikel yang saya tulis. Saya sangat senang, karena angka 17 merupakan angka favorit saya.

Dari ke-17 artikel yang sudah pernah saya tulis, mungkin saya terlalu banyak mengajari, menggurui, mengkhotbahi orang lain, tapi lupa menyemangati dan mengoreksi diri sendiri.

Sebagaimana tertera di profil, saya adalah seorang pastor (Romo) Katolik. Beberapa orang barangkali melihat kalau seorang pastor itu memiliki iman yang teguh. Dia pasti tahan banting dalam menghadapi setiap tantangan dan persoalan hidup.

Nanti dulu. Pastor juga manusia. Sama seperti Anda, saya juga kadang mengalami kegelisahan, kecemasan, ketakutan. Namun demikian, saya tidak pernah sampai menjadi putus asa dan kehilangan harapan.

Sejak memutuskan untuk menjadi seorang pastor saya sudah tahu betul bahwa salah satu konsekuensinya saya harus meninggalkan keluarga. Karena itu, terpisah jauh dari keluarga sudah menjadi hal yang biasa bagi saya.

Dulu saya pernah 6 tahun tinggal di Malang untuk menempuh pendidikan. Terpisah jauh dari kerabat dan keluarga yang ada di Kalimantan Barat.

Sekarang sudah sangat sangat sangat jauh lagi, yakni di Polandia. Ini sudah merupakan tahun yang ke-3. Semua saya jalani dengan senyum dan gembira. Rindu dengan tanah air, kampung halaman dan keluarga tercinta tentu ada, namun tidak sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.

Namun entah kenapa sejak merebaknya pandemi Covid-19 ini, kadang kegelisahan, kecemasan, ketakutan datang mengusik ketentraman hati. Kegelisahan itu semakin menjadi ketika pada suatu hari Ibu menelpon, dan berkata: "Kalau saja jaraknya dekat, sudah aku pergi jemput kamu." Rasanya baru kali itu saya merasakan kekhawatiran yang begitu dalam dari seorang ibu yang saya kenal begitu tegar dan kuat.

Baik Ibu maupun segenap anggota keluarga juga sudah terbiasa jauh dari saya. Mereka juga sudah tahu bahwa sejak saya memutuskan untuk menjadi seorang pastor, sejak saat itulah saya tidak lagi menjadi milik keluarga, tapi sudah menjadi milik umat.

Namun, kenyataan ini tidak akan pernah menghapus kekhawatiran seorang ibu terhadap anaknya. Siapa pun kita, saya kira pasti akan mengalami hal yang sama ketika berjauhan dengan orang-orang yang kita sayangi.

Namun, saya selalu berusaha untuk tegar. Saya sungguh menyadari bahwa selama saya masih berziarah di dunia ini, kekhawatiran, kecemasan, kegelisahan, ketakutan seringkali kali juga datang menghampiri. 

Rasanya tidak ada yang salah bila mengalami semuanya itu. Tuhan Yesus yang saya imani juga mengalami ketakutan yang amat sangat, sampai-sampai berpeluhkan darah ketika berdoa di taman Getsemani. Demikian juga ketika tergantung di salib, merasa ditinggalkan oleh Bapa-Nya, Ia berseru dengan suara nyaring" "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?".

Bagaimana kemudian sikap berhadapan dengan rasa takut, khawatir dan gelisah agar tidak menjadi penghalang untuk bertumbuh dan berkembang, kiranya menjadi hal yang sangat penting.

Memiliki harapan kiranya menjadi sebuah keharusan dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Kekhawatiran, ketakutan, kegelisahan memang selalu menjadi bagian dari hidup. Namun, seperti Paus Fransiskus mengingatkan, "Jangan sampai mereka mencuri harapanmu!"

"Harapan hanya akan ada bila ada kasih", demikian Paus Emeritus Benediktus XVI pernah menulis. Di mana saya menjumpai kasih itu? Dalam diri Tuhan Yesus sendiri, yang telah rela menderita, wafat dan bangkit.

Setelah bangkit dari mati Ia menampakkan diri kepada para murid. Ia menyertai perjalanan dua murid yang kembali ke Emaus, yang nampak kehilangan harapan setelah Guru mereka mati disalib. Ia menjumpai dan menyapa murid-murid-Nya dengan penuh kasih: "Damai sejahtera bagi kamu!"

Saya sungguh yakin Tuhan akan senantiasa menyertai peziarahan hidup saya. Ia bersabda: "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."

So,...lanjutkan hidup dan tetaplah memiliki harapan!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun