Mohon tunggu...
Fransiskus Nong Budi
Fransiskus Nong Budi Mohon Tunggu... Penulis - Franceisco Nonk

Fransiskus Nong Budi (FNB) berasal dari Koting, Maumere, Flores, NTT. Nong merupakan anggota Kongregasi Pasionis (CP). Menyelesaikan filsafat-teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang pada medio 2017 dan teologinya di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Pastor Bonus Pontianak pada pertengahan 2020. Karya literasinya berjudul "ADA-ti-ADA: Sebuah Pengelanaan Fenomenologis bersama Heidegger" (Leutikaprio: Yogyakarta, 2018). Perhatiannya atas Fenomenologi membawanya pada karya Mari Menjadi Aslimu Aslama yang Wazan Fa’lan dan Wazan Fa’il: Sebuah Sapaan dalam Keseharian Kita tentang Terorisme dan Radikalisme (Ellunar, 2019). Bersama Komunitas Menulis Sahabat Bintang ia terlibat dalam penulisan Sepucuk Cerita Bantu Donggala: Kumpulan Cerpen dan Puisi (Bintang Pelangi, 2018). Bersama Komunitas Menulis Sastra Segar ia ikut ambil bagian dalam penulisan Harapan (Anlitera, 2019). Ia berkontribusi pula bagi Derit Pamit (Mandala, 2019) dan His Friends (Lingkar Pena Media, 2019). Sejumlah karya tulis telah dipublikasikan di aneka jurnal ilmiah. Karya filosofis terkininya ialah “Temporalitas dan Keseharian: Perspektif Skedios Heidegger” (Jejak Publisher, 2019). Sementara karya Metapoeitikanya terkini ialah “Kata Yang Tinggal” (Guepedia Publisher, 2019). “Setelah 75?” (Guepedia Publisher, 2019) merupakan karyanya pula. Nonk kini menggagas Metapoeitika sebagai sebuah Skedios (sketsa) dalam alam literasi Poeitika. Salah satu perwujudan Metapoetika ialah "Dimensi Karsa Kehidupan" (2021).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Seberapa 'Seksi' Politik Itu?

30 Januari 2023   09:23 Diperbarui: 30 Januari 2023   09:25 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertanyaan di atas sengaja dipilih. Di dalamnya terkandung perihal politik yang ditempatkan dalam tanda petik tunggal serta soal seksi. Hal-hal tersebut hendak membawa pembaca pada tataran makna dari kata dalam keseharian.

Politik itu adalah sebuah kata. Karenanya ditulis di sini sebagai 'politik'. Sebagai sebuah term, politik, merupakan kata dalam cara kita berbahasa, sebuah kata dalam bahasa kita, bahasa Indonesia. Kata itu masuk dalam kategori kata benda. Secara leksikal, sebagaimana diacu dalam kamus kebahasaan kita, memberi kita tiga pemahaman, yaitu: 1) perihal ketatanegaraan; 2) urusan dan perbuatan terkait pemerintahan; dan 3) sebagai suatu cara bertindak. Sebegitu sajakah kata politik dimengerti?

Ketika berhadapan dengan sebuah kata yang terbaca, kita akan memiliki di dalam kesadaran suatu pemahaman terhadap kata itu sendiri. Secara kebahasaan disebut konotasi, yaitu bagaimana anda berhubungan dengan sebuah kata, lewat indra dan pemahaman pikiran, antara kata dan realitas. Sensibilitas, boleh disebut dengan istilah asing - sense of the meaning - seseorang terhadap sebuah kata. Sederhananya, bagaimana nilai rasa terhadap kata.

Kala bersemuka dengan kata -- bagaimana harus menilai, kalau mau menyebutnya dengan istilah itu, atau bagaimana melihat kandungan makna dari kata -- apa konotasimu? Jangan abai bahwa sebuah kata punya asal-usul, punya yang namanya genealogi, atau yang dalam kebahasaan disebut terminologi. Kata juga bukan hanya punya itu, tetapi punya yang namanya historisitas (kesejarahan), temporalitas (kemewaktuan), lokusitas (tempat) dan kontekstualitas. Bahkan kata itu punya pergumulannya dalam keseharian manusia, inilah eksistensialitas makna.

Dua penilaian yang dikemukakan di sini, sebagaimana kita miliki dalam kebahasaan kita soal makna sebuah kata, ialah ameliorasi dan peyorasi. Ameliorasi, perubahan makna dengan konotasi semakin membaik. Sementara, peyorasi adalah kebalikannya. Berada pada yang manakah 'politik' itu? Apakah 'politik' itu amelioratif atau peyoratif?

Di sinilah peranan terminologi! Juga segala yang menyertainya yang disebutkan di atas, historisitas dan teman-temannya. Kata 'politik' memiliki tempat dan kesejarahan pada masa Yunani abad ke-6 SM, masa dimana kebijaksanaan dicintai dan mulai bergema. Orang Yunani di masa itu mengembangkan apa yang disebut Polis. Polis dipahami sebagai negara-kota (city-state). Contoh Polis di masa itu ialah Athena dan Sparta. Kota yang dimaksud ialah apa yang sekarang disebut negara, bukan dalam pemahaman kita saat ini sebagai kawasan perkotaan, katakana saja Jakarta. Kota (Polis) dan warga (Polites) saling mengandaikan. Status warga adalah suatu kehormatan, sebab tidak semua orang yang tinggal di kota (Polis) adalah warga (Polites). Sederhananya, seperti milenial Citayam -- atau yang lebih lengkap dipelesetkan sebagai SCBD -- yang mejeng di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, adalah bukan warga ibu kota. SCBD itu sendiri aslinya singkatan dari Sudirman Central Business Distric (Kawasan Pusat Bisnis Sudirman), tetapi kemudian menjadi Sudirman Citayam Bojong Gede Depok. Di polis Athena ada pendatang, tawanan, dan budak. Di zaman Clisthenes, akhir abad ke-6 SM, Anthena, sebagai polis memiliki apa yang kita sebut struktur. Athena waktu itu memiliki 150 daerah administratif (demos). Setiap demos mencakup 3 sub-demos. Ketiganya itu ialah kota (astu), pinggir pantai (paralia), dan pegunungan (mesogeia).

Praksis makna dari Polis haruslah dihubungkan dengan bagaimana kehidupan di dalam polis itu sendiri, hal ini termasuk suatu seni (ars), yaitu bagaimana polis dikelola. Tentang tata kelola, terdapat sejumlah kebijaksanaan yang berkembang secara khas dalam nuansa Polis. Gagasan-gagasan itu dapat kita sebut di sini secara sederhana sebagai suatu seni memimpin dan mengelola polis atau secara kekinian sebagai bentuk negara. Demokrasi itu satu di antaranya, yang muncul kemudian dalam sejarah peradaban polis Yunani. Demokrasi, dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), artinya kekuasaan rakyat. Aristoteles menilai bahwa Politeia merupakan yang paling ideal secara realistis, sebab raja-pencinta-kebijaksanaan (raja-filsuf) adalah utopis, sekurang-kurangnya amat sulit ditemukan dalam kenyataan. Sementara, demokrasi itu penyimpangan dari politeia. Maksudnya, demokrasi sejati itu politeia, sementara demokrasi yang berbelok itu sedikit banyak tidak murni sebagaimana politeia itu sendiri, sebab di sana-sini kepentingan individu yang berkuasa atau kelompok penguasa memainkan peranannya dengan aneka trik.

Praksis seni tata kelola hidup bersama dalam suatu polis terus berkembang hingga memasuki babak baru feodalisme yang tidak singkat dengan variasi bentuk. Piagam Besar (Magna Charta) tahun 1215 menjadi momen historis tata kelola hidup bersama dievaluasi. Perjalanan sejarah, melewati pertempuran dan perang, perdamaian dan ketentraman, sebagaimana banyak orang telah menilainya, akhirnya tiba pada tata kelola kehidupan bersama dalam negara-negara modern. Machiavelli, Locke, dan Monttesquieu, termasuk beberapa yang boleh dapat disebut di sini namanya dalam urusan diskusi gagasan tata kelola hidup bersama, yang boleh disebut politik, atau seni politik.

Bila demikian jalannya kata 'politik', apa konotasi 'politik' saat ini di sini? Melihat pemaknaan kata dalam lingkup kebahasaan kita sebagai tiga hal sebagaimana disebut di awal, apakah 'politik' itu begitu? Kita tentu melihat kenyataan atau realitas ketatanegaraan kita, dari sebelum menjadi negara sampai saat ini. Politik memiliki kenyataan pada sistem (ketatanegaraan), orang (negarawan), serta aksi atau tindakan negawaran dalam tata negara. Negara itu apa? Terdiri dari apa saja suatu yang disebut negara itu? Bagaimana negara itu ada dan bertahan atau dengan kata lain bagaimana negara itu hidup? Semua itu merupakan pertanyaan-pertanyaan perihal 'politik'.

Kata seksi secara leksikal memiliki empat arti. Pertama, bagian dari suatu kepengurusan (dalam organisasi). Kedua, setengah peleton (dalam ketentaraan). Ketiga, pemotongan (dalam kedokteran). Keempat, merangsang berahi (soal tubuh dan pakaian). Kata seksi yang dipakai dalam judul tulisan ini memaksudkan arti leksikal terakhir. Bila demikian penggunaan kata seksi, pertanyaan yang timbul adalah apakah politik itu seksi?

Yves Michaud dalam bukunya berjudul Violence et Politique (Kekerasan dan Politik), 1978, mengemukakan apa yang dinamakannya sebagai "politik porno". Ia menyebut bahwa prinsip dasar dari politik porno ialah menghalalkan segala cara. Tentu, menurut saya, diksinya dalam menjelaskan kekerasan adalah sarkastis sebab dapat menyinggung pihak tertentu. Terlepas dari itu, istilah politik porno-nya, di sini menarik bagi saya. Kesimpulan yang dapat dibuat dari logika Michaud sebagai penulis, juga sebagai filsuf Prancis, ialah bahwa kejahatan dalam politik adalah porno. Tentu kejahatan merupakan penilaian etis atas suatu tindakan manusia. Apakah politik kita porno?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun