"Sering kali kita berusaha menjalani hidup ini secara terbalik. Kita berusaha untuk memiliki lebih banyak barang atau uang, agar dapat melakukan apa yang kita inginkan. Dengan itu, kita merasakan kebahagiaan. Sesungguhnya, yang benar adalah kebalikannya. Pertama yang dipahami adalah kita harus menjadi diri sendiri [yang sesungguhnya]. Setelah itu, melakukan apa yang benar-benar diperlukan. Agar, kita dapat memiliki apa yang kita inginkan"Â [Margaret Young]
Hari-hari ini, rasanya semakin banyak orang (khususnya kaum muda) tidak pede akan diri sendiri. Memang, pernyataan ini bukan hasil dari suatu penelitian ilmiah yang sistematis, hanya kesimpulan sendiri atas curhat-an atau dialog dengan beberapa orang muda.
Ada anak muda yang tidak pede karena memiliki latar belakang ekonomi yang sulit, situasi keluarga yang tidak akur, kemampuan akademik yang terbatas, paras yang dirasa kurang tampan atau cantik, dan sebagainya.Â
Hal ini dipertegas lagi dengan ungkapan, "Jika aku ...., maka aku akan jauh lebih percaya diri" atau "Yah, karena aku ..., sehingga aku lebih baik begini saja" atau "Seandainya aku punya ..., aku pasti amat bahagia".
Curhat, keluh kesah, atau apapun namanya terkait situasi demikian tentu terkadang membuat orang yang mendengar ikut terenyuh. Sebab, siapapun pasti pernah mengalami keadaan demikian.
Atau, bisa saja orang yang mendengarkan ungkapan tersebut malah menjadi geram. Orang yang mengeluh tersebut berusaha mengejar sesuatu yang tak ada padanya agar bahagia, sehingga lupa akan kemampuan diri yang amat berharga, namun tidak disadari atau bahkan ditekan sehingga tidak tampak.
Maka, untuk memotivasi atau menyadarkan orang yang mengeluh tersebut, diucapkan kembali seruan: "be yourself!"
Perasaan malu
Salah satu akar yang menyebabkan banyak orang mencoba untuk mengejar sesuatu di luar dirinya, sehingga melupakan potensi adalah perasaan malu. Perasaan ini dapat membuat siapa saja menjadi kecil, cacat, dan merasa tidak dicintai.
Perasaan malu tidak saja dimiliki oleh orang yang memiliki trauma, tetapi oleh semua orang.Â
Brene Brown, Ph.D., L.M.S.W. dalam The Gifts of Imperfection (2010) meneliti bahwa rasa malu dapat membuat seseorang merasa tidak terhubung dan sangat membutuhkan penghargaan diri. Dan di pihak lain, rasa malu malah membuat orang menjadi agresif, depresi, kecewa, dan bahkan membenci diri sendiri. Akibatnya, ia tidak dapat menjadi diri sendiri.
Untuk itu, Brown memberikan masukan agar perasaan malu diolah dengan baik. Menarik, bahwa Brown menganjurkan agar perasaan malu mesti dikomunikasikan kepada orang lain yang dapat dipercaya. Di sinilah muncul istilah lentur terhadap rasa malu.
Perasaan malu tidak untuk dijauhi, melainkan didekati dan dikritisi. Perasaan perlu diperiksa dengan realitas dan pesan-pesan motivasi, agar perasaan itu tidak semakin parah dan membuat minder.
Tiga proses
Perasaan malu memang perlu diolah dengan matang, agar orang yang digerogotinya tidak berusaha menghindar dari keadaan sehingga pasif, pasrah, dan menjadi tidak produktif.Â
Parahnya, orang tersebut justru semakin tidak menyadari kompetensi diri yang jika dikembangkan, akan membuatnya bahagia. Maka, menarik sekali ungkapan be yourself dalam konteks ini. Proses "menjadi diri sendiri" mahal jika didalami.
Untuk itu, agar proses ini semakin mantap, setidaknya ada tiga cara [tawaran] yang dapat membantu.
1. Hidup secara autentik
Dalam konteks ini, autentik dimengerti sebagai pilihan-pilihan riil dan jujur dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang dapat memilih untuk menjadi berani dalam ketidaksempurnaan, melatih belas kasih terhadap diri sendiri, dan mempercayai potensi mahal dalam dirinya.
Hidup yang dijalani secara autentik akan penuh dengan cinta yang tulus. Sekalipun keadaan sulit, rahmat akan membantunya untuk berubah. Rasa malu perlahan akan dapat ditundukkan, sehingga lahir kembali pribadi yang autentik dan dapat bersyukur.
Untuk hidup autentik menuju proses "menjadi diri sendiri", dibutuhkan ke-sengaja-an, inspirasi, tindakan riil, dan pengorbanan diri. Maka, rasa minder dan takut jangan sampai mematahkan semangat cinta diri (bukan egoisme buta).
2. Berdistansi dari perfeksionisme
Perfeksionisme adalah paham tentang kalau hidup sempurna, rasa sakit atau malu akan diminimalisir. Paham ini dapat menjadi tameng yang menghambat perkembangan menuju proses "menjadi diri sendiri".
Pujian dari orang lain dan kepuasaan diri sendiri diincar. Paham ini tentu melumpuhkan target yang sudah dimulai dari hidup autentik.
Perfeksionisme dapat menggiring siapa saja untuk menghancurkan dirinya sendiri lewat cari aman atau unjuk kemampuan. Jika paham ini menjadi candu, orang dapat mengalami situasi hidup yang semu dan pada akhirnya akan malu, kecewa, dan minder sebab tidak ada yang sempurna di muka bumi ini.
Untuk itu, kita perlu berdistansi dari perfeksionisme dengan cara mengembangkan kelenturan terhadap rasa malu dan berbelas kasih pada diri sendiri (bukan permisif). Dengan mengasihi diri sendiri, kita dapat bersahabat dengan ketidaksempurnaan.Â
Dr. Kristin Neff (profesor di University of Texas, Austin) juga setuju atas hal ini dan ia melihat ada tiga unsur yang perlu dikembangkan agar mampu mengasihi diri sendiri (2003), yakni keramahan diri (self kindness), kemanusiaan bersama (common humanity), dan kesadaran (mindfulness).
3. Bersikap lentur
Masih berhubungan dengan dua proses di atas, sikap lentur dibutuhkan dalam melepaskan "pengebalan diri [egoisme]" dan perasaan tak berdaya.
Proses pengebalan diri terjadi ketika perasaan-perasaan tak membahagiakan dikumpulkan, sehingga menghambat pengalaman positif. Hal ini dapat menjadi candu yang membahayakan.
Maka, kita perlu bersikap lentur. Perasaan takut, menyalahkan diri sendiri, tidak nyaman, dan sebagainya harus disingkirkan.Â
Dalam proses ketiga ini, memang dibutuhkan dimensi rohaniah seperti meditasi dan doa harian. Agar, sikap lentur dapat terarah kepada suatu spirit yang mampu menghargai diri sendiri di tengah pergulatan perubahan positif.
Siapa saja tentu memiliki proses dan trik untuk mengejar kebahagiaan, terutama bahagia menjadi diri sendiri. Ketiga proses merupakan tawaran yang masih dapat dikembangkan agar lebih kontekstual dan berdaya dalam membantu kita "menjadi diri sendiri".
"Hal yang benar-benar sulit, namun sungguh menakjubkan adalah berhenti menjadi seolah-olah sempurna dan mulai menjadi diri sendiri" [Anna Quindlen, 2005].
Semoga bermanfaat. Sic fiat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H