Mohon tunggu...
Frainto Julian Kalumata
Frainto Julian Kalumata Mohon Tunggu... Freelancer - Halmahera Utara - Salatiga

Frainto kalumata, sapa saja frento. Lahir 11 juli 1996 di kota Tobelo. Kota kecil yang berada di halamahera Utara. Mahasiswa manajemen Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Jejaknya bisa di lacak melalui akun instagram @frentokalumata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Teori Konspirasi di Tengah Pandemi

14 April 2021   15:15 Diperbarui: 14 April 2021   15:42 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat tengah dihiasi teori konspirasi saat wabah kian merajalela. Patut diduga, hal ini dipicu oleh keraguan masyarakat terhadap berbagai ketidakpastian soal pandemi. Imbasnya, terdegradasi kolektivitas dari tataran individu hingga negara. Memicu perang saraf, serta memecah belah kekuatan yang seharusnya dihimpun untuk menyudahi pandemi ini.

Skeptisme publik terhadap isu-isu konsipirasi mengenai Covid-19 telah mengundang tanda tanya. Ada beberapa pertanyaan yang menjadi bahan dasar pembahasan isu-isu konspirasi. Diantaranya; Siapa dalangnya? Apakah covid-19 adalah virus buatan? Apakah ada pihak yang mempolitisir pembuatan vaksin? Apakah ada kelompok yang ingin menguasai dunia? Siapa yang paling diuntungkan dari virus ini?

Douglas (Dalam Coaston, 2020) menjelaskan bahwa teori konspirasi berkembang pesat di masa krisis seperti saat ini, karena peristiwa besar selalu membutuhkan penjelasan yang besar pula. Penjelasan-penjelasan kecil selalu terasa tidak memuaskan.

Tentu kita masih ingat tentang satu peristiwa besar yang diduga sebagai konsipirasi. Tragedi WTC 11 september di New York, Amerika Serikat. Merespon hal tersebut, George W. Bush mengeluarkan kebijakan 'War On Terror' melawan terorisme hingga melakukan invasi ke Afganistan. Pasca peristiwa itu, bermunculan pandangan miring terhadap islam yang dianggap sebagai musuh dan biang keladi dari aksi-aksi terorisme di seluruh dunia.

Situasi serupa juga terjadi saat ini. Selalu ada pihak yang dijadikan kambing hitam. Presiden Amerika Serikat, Donal Trump, menuduh cina adalah pihak yang harus bertanggung jawab. Tuduhannya, virus ini diciptakan di lab Wuhan dan disebarkan keseluruh dunia, untuk kepentingan china. Tidak sampai disitu, beberapa negara juga telah menuntut china.

Merespon itu, Presiden China, XI Jinping menuduh balik militer Amerika Serikat yang seharusnya bertanggung jawab. Sempat beredar video di Weibo (media sosial paling populer di China) yang menunjukan seorang anggota militer AS tampak sengaja menempelkan cairan mulutnya ke rail besi disebuah bus di kota Wuhan. 

Uscinki (Dalam  Pahdepie, 2020) menjelaskan bahwa teori konspirasi seperti terus berkembang setidaknya karena dua hal. Pertama, karena tokoh-tokoh besar seperti politisi dan pemuka agama dengan banyak pengikut menggunakan narasi-narasi berbau teori konspirasi semacam ini. Kedua, karena kepercayaan publik yang sangat rendah pada institusi resmi pemerintahan dan media. Namun, kepercayaan pada teori konspirasi jauh lebih luas dari yang dipikirkan kebanyakan orang.

Menjadi keresahan jika ketidakpastiaan informasi justru berimplikasi buruk. Keyakinan berlebihan terhadap teori konspirasi mampu menciptakan gap. Patut diduga, kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat tidak serta merta menanggulangi soal pandemi. Negara-negara telah kehilangan kepercayaan antara satu dengan lainnya. Paling sederhana untuk menggambarkannya dilihat dari aktivitas anggaran tiap negara untuk memperkuat pertahanaan militer setiap tahunnya.Teori konsipirasi bisa jadi salah satu penyebabnya.

Lalu apakah teori konspirasi dapat dibenarkan? teori konspirasi tidak pernah bisa diterima ditengah dunia akademik, karena mengandung bias dan subjektivitas yang terlalu banyak. Singkatnya, teori konspirasi hanya menyenangkan pihak tertentu yang mempercayainya (Pahdepie, 2020).

Kebebasan berimajinasi lalu menduga tak bisa dibatasi oleh apapun. Namun, subjektivitas tak bisa membelenggu objektivitas. Rasionalitas menjadi tolok ukur dalam menentukan nilai-nilai kebenaran untuk diyakini. Serta suatu kebenaran harus didukung argumentasi yang kuat, fakta akurat, dan data ilmiah, sehingga bisa diverifikasi kebenarannya.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun