Mohon tunggu...
Fradj Ledjab
Fradj Ledjab Mohon Tunggu... Guru - Peziarah

Coretan Dinding Sang Peziarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan Tidak Butuh Dibela (Perspektif Iman Katolik)

18 Mei 2021   21:48 Diperbarui: 18 Mei 2021   22:09 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Animasi Yesus Gembala Baik (foto:sesawi.net)

Kebohongan publik, radikalisme, ujaran kebencian dan sebagainya menjadi fenomena kehidupan sosial yang tampak begitu massif dan sistemik dalam praktek kehidupan sehari-hari dewasa ini. Kehidupan sosial politik, ekonomi, kultur, dan fanatisme keagamaan yang boleh dikata berlebihan menjadi faktor pemicu munculnya penyakit sosial semacam ini . Faktor terakhir ini,  fanatisme keagamaan menjadi salah satu fenomena yang paling kencang berhembus terutama di jagat maya. Sasaran empuknya adalah orang atau kelompok masyarakat yang rentan baik dari segi usia maupun problem sosial seperti kehidupan keluarga, ekonomi, kultur, agama, dan sebagainya yang memungkinkan mereka memiliki peluang untuk dengan mudahnya terpleset dalam sebuah adonan yang namanya dogmatisasi radikal. Akhirnya apa yang terjadi? Lahirlah kelompok atau orang-orang yang 'kesurupan religiusitas'. Mereka menganggap orang lain yang berbeda (suku, agama, budaya) dengannya adalah musuh, kafir, dan karena itu harus dibumihanguskan meski harus mengorbankan diri, mati. Bagi kelompok semacam ini kematian demikian adalah sebuah kematian demi membela Tuhan, sebuah kematian yang suci (mati syahid). Tragisnya lagi, dogmatisasi yang radikal ini ditebarkan oleh orang atau sekelompok orang yang memproklamirkan dirinya sebagai mereka yang ber-ketuhanan, yang ber-agama dengan dalil dalam nama Tuhan dan untuk membela Tuhan. Tepat di sinilah paradoks terjadi karena manusia mencoba mengambil hak Tuhan. Bukankah seharusnya Tuhan yang membela manusia? Tuhan tidak perlu dibela karena Dia Agung, Maha Besar, Maha Kuasa. Justru demi keselamatan manusia, Allah yang Agung itu menjelma menjelma menjadi manusia lemah dalam diri Yesus Kristus yang rela menderita dan wafat, bukan menjadi 'victim"tetapi sebagai persembahan diri kurban kekudusan; dijadikan mulia dalam kemuliaan Bapa (Mrk 15:39).

Dogmatisasi radikal lahir dan subur pada manusia yang tidak mampu menimbang secara sadar berdasarkan iman dan akal sehat apa yang diterimanya sehingga menghasilkan krisis identitas yang berujung pada fanatisme radikal. Fenomena tersebut menjadi bola liar apalagi dengan dukungan teknologi informasi yang semakin pesat, hampir tak terkontrol. Sejatinya tujuan mulia pengembangan iptek yakni untuk membantu dan menolong manusia sebagai makhluk sosial untuk mencapai tujuan yakni kebaikan bersama. Iptek hanyalah sarana bukan tujuan. Sayangnya, manusia yang adalah makhluk sosial itu telah keluar jalur dengan memanfaatkan iptek sebagai tujuan hal mana menjadi senjata untuk menyerang orang lain dan tameng untuk melindungi dirinya tanpa memikirkan nasib orang lain.

Berbicara dalam perspektif iman katolik bahwa manusia adalah selain sebagai makhluk sosial juga sebagai makhluk berketuhanan (ber-iman). Artinya manusia memiliki relasi cinta dengan Tuhan sebagai pencipta. Relasi cinta itu terungkap dalam ketaatan pada ajaran-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagai tanggapan manusia akan cinta Tuhan. Maka, iman haruslah diwujudkan dalam tindakan nyata. Kedalaman iman seseorang diukur dari tindakannya. Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? ..... Kamu lihat, bahwa iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna ..... Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (Yak 2:14,22,26).

Lebih jauh, Perjanjian Baru, khususnya injil-injil, sangat menekankan sikap terhadap sesama sebagai tolok ukur penghayatan iman sejati. Pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah diiringi dengan tanda-tanda yang sungguh menyangkut hidup orang banyak dalam segala aspeknya. Pergaulan Yesus sendiri juga mendahulukan mereka yang tersingkir dalam masyarakat. Tulisan-tulisan Paulus dengan sangat kaya memaparkan fakta keselamatan dalam wafat dan kebangkitan Yesus, yang dilukiskannya dengan memakai macam-macam metafor seperti misalnya pembenaran, pendamaian, penebusan. Semua ini mengandung faham tentang pulihnya suatu relasi yang tadinya rusak, sekaligus penciptaan suatu umat manusia yang baru. Hidup sebagai ciptaan baru menyiratkan solidaritas dengan sesama, khususnya mereka yang menderita. Jelaslah bahwa, Kebohongan publik, radikalisme, ujaran kebencian dan sebagainya bukanlah ungkapan iman bahkan iman katolik secara tegas memandang sebagai perusak martabat manusia. Tentu saja praktek buruk itu tidak dapat dibenarkan Gereja, yang telah menegaskan komitmennya untuk setia menemani masyarakat dan bersama orang-orang berkehendak baik memberantasnya. Gereja berdasarkan mandat yang diterimanya dari Kristus memelihara, peduli dan mesti berupaya agar sistem sosial, ekonomi dan politik ditata dan diarahkan kepada kepentingan kesejahteraan umum, sebagai dasar beradanya masyarakat negara.

Selanjutnya, Kebohongan publik, radikalisme, ujaran kebencian dan sebagainya adalah  dosa abad ini. Gereja katolik secara tergas memandangnya sebagai struktur-stuktur dosa yang bertentangan dengan pendamaian dan perkembangan. Hal-hal ini dilihat sebagai dosa yang mengakibatkan ketakutan, kemiskinan, dan penderitaan sesama manusia. Dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut (Rm 5:12). Kebebasan manusia telah disalahgunakan dan akibat dosa sejauh ia merupakan tindakan pemisahan dari Allah, adalah keterasingan, yaitu bukan saja keterpisahan manusia dari Allah melainkan juga dari dirinya sendiri, dari sesamanya dan dari dunia sekitarnya. Akibat dosa melanggengkan struktur-struktur dosa yang kesemuanya berakar dalam dosa pribadi dan karena selalu berkaitan dengan tindakan-tindakan konkret individu yang melakukannya, memantapkannya dan membuatnya sulit ditiadakan. Karena itulah struktur-struktur tersebut tumbuh semakin kuat, menyebar dan menjadi sumber untuk menjadi dosa lain seraya mempengaruhi prilaku manusia. 

Oleh karena itu Gereja (Katolik) mengajak pulang agar moral kemanusiaan perlu dikembalikan dengan gerakan solidaritas untuk dapat memandang orang lain sebagai sesama manusia. Gereja tinggal di dalam dunia dan walaupun bukan berasal dari dunia (bdk. Yoh 17:14-16) ia dipanggil untuk melayani dunia sesuai dengan panggilannya yang paling dalam. Gereja di bawah bimbingan Roh Kudus diterima dari Pendirinya. Sebab memang pribadi manusia harus diselamatkan, dan masyarakat harus dibaharui pula. Solidaritas menjadi kata kunci bagi gerakan Gereja. Dalam rencana Allah setiap manusia lahir untuk mengusahakan pemenuhan bagi dirinya. Bagi  tiap orang kehidupan dipanggil oleh Allah untuk tugas tertentu yakni menjadi bagian masyarakat untuk memperhatikan dan merawat (caring) relasi sosial sehingga perdamaian, kerukunan dalam masyarakat terjaga, penuh damai dan saling memperhatikan. Lebih jauh Gereja Katolik melalui Ensiklis Laudato Si (Paus Fransiskus, 24 Mei 2015) menegaskan Ajaran Sosial Gereja berdasarkan makna tentang kisah Kain dan Habel. Karena kecemberuan Kain telah melakukan ketidakadilan luar biasa melawan saudaranya Habel sehingga menjadi terkutuk dan terasing dari tanah karena mengabaikan tugas untuk memelihara hubungan baik dengan sesama yang harus diperhatikan dan dilindungi, menghancurkan hubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan Allah dan dengan bumi. Oleh karena itu, Gereja terus memanggil dan mendorong putra-putrinya untuk mempersiapkan dirinya dalam membantu orang lain. Dengan begitu ia dapat memelihara komitmennya yakni jalan kasih menuju kepada kebenaran.  Maka generasi muda Gereja tidak perlu ragu untuk berbagi karya-karya solutif atau permasalahan sosial di tengah masyarakat dan melakukan kegiatan konkrit bersama orang lain di sekitar untuk mengusahakan keadilan dan kesejahteraan bersama. (Fradj)

 Sumber :

  • Ledjab Radja, Menjadi Pengikut Kristus Berarti siap Memanggul Salib, CDP, radjalejab.wordpress.com
  • Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral, Gaudium et Spes 75
  • P. Turang, Pr, Keprihatinan Akan Masalah Sosial, Surat Ensiklik "Sollicitudo Rei Socialis" dari Bapa Suci Yoh. Paulus II dalam rangka Ulang Tahun ke 20 Ensiklik "Populorum Progressio". 30 Desember 1987
  • Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1869
  • Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral, Gaudium et Spes 3
  • Bismoko Mahamboro, 2016, DOCAT Indonesia, Apa yang harus Dilakukan, Yogyakarta, Kanisius
  • Bdk, Martin Harun(Penerjemah), Laudato Si, Terpujilah Engkau, 2016:45

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun