Dalam beberapa bulan ini, pemerintah Indonesia semakin giat mendorong perekonomian desa melalui berbagai kebijakan. Salah satunya adalah Koperasi Desa Merah Putih yang diharapkan bisa menjadi solusi bagi banyak desa untuk keluar dari jerat ketimpangan ekonomi. Diperkenalkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 yang yang telah ditetapkan Prabowo Subianto Presiden RI pada 27 Maret 2025. Kemudian muncul Surat Edaran Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 6 Tahun 2025 sebagai tindak lanjut dari instruksi presiden kepada Menteri Desa PDT. Koperasi ini tidak hanya dimaksudkan untuk mengangkat ekonomi desa, tetapi juga menciptakan kemandirian yang berkelanjutan. Namun, pertanyaannya yang muncul di benak masyarakat adalah bisakah koperasi ini benar-benar mengubah nasib desa? Apakah harapan ini bisa terwujud, ataukah hanya impian yang sulit dicapai?
Koperasi Desa, Harapan Baru atau Sekadar Wacana?
Pemerintah berharap Koperasi Desa Merah Putih bisa mengatasi kesenjangan di desa. Dengan menyediakan fasilitas penting seperti sembako murah, klinik desa, layanan simpan pinjam, dan fasilitas penyimpanan barang, koperasi ini seharusnya bisa mendukung perekonomian lokal. Namun, meskipun ide ini terdengar menjanjikan, ada tantangan yang tidak bisa kita pandang sebelah mata.
Desa-desa Indonesia, meskipun memiliki potensi yang luar biasa namun masih bergulat dengan berbagai masalah besar. Infrastruktur yang terbatas, minimnya akses ke teknologi, serta keterbatasan sumber daya manusia yang dapat mengelola koperasi merupakan beberapa kendala utama yang akan dihadapi. Selain itu, persoalan yang sudah berlarut-larut terkait koperasi di desa juga menjadi hambatan yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Masalah yang Sudah Lama Ada di Desa
Ada beberapa masalah lama di Desa yang hingga kini menjadi tantangan dalam mendorong perekonomian di desa, diantarannya adalah:
Koperasi Simpan Pinjam dengan Bunga Tinggi
Di banyak desa, koperasi yang ada selama ini sebagian besar adalah koperasi simpan pinjam yang didirikan oleh beberapa masyarakat pemilik modal. Masyarakat desa selama ini mengenalnya dengan 2 istilah yaitu 'Kosipa' dan 'Bang Tithil". Sayangnya, koperasi-koperasi ini sering kali beroperasi dengan memberikan pinjaman pribadi kepada masyarakat dengan bunga yang tinggi. Akibatnya, koperasi tersebut malah menambah beban ekonomi warga desa, bukannya membantu mereka keluar dari kesulitan finansial. Entah, apakah ini yang dimaksud sebagai 'rentenir' oleh pemerintah sehingga harus dilawan menggunakan Koperasi Desa Merah Putih? Namun, banyak masyarakat yang memanfaatkan jasa pinjaman ini karena memang mudah diakses meskipun berbunga tinggi.ÂPemerintah Desa dan Ketidakterbiasaan Membuat Koperasi
Tak banyak pemerintah desa yang memiliki kebiasaan atau kapasitas untuk mendirikan koperasi, karena regulasi yang lebih sering mendorong mereka untuk mendirikan BUM Desa atau BUM Desa Bersama. Walaupun koperasi memiliki banyak potensi, seringkali pemerintah desa lebih memilih membentuk BUM Desa yang dinilai lebih praktis dan sudah memiliki dasar hukum yang lebih jelas. Padahal koperasi pun bisa menjadi bagian dari BUM Desa maupun BUM Desa Bersama. Selain itu ada Desa juga memiliki ketidakterbiasaan dalam mengelola keuangan melalui koperasi karena dipandang bahwa koperasi memiliki konotasi 'simpan pinjam'. Konotasi ini sudah diwakili dengan peranan BUM Desa Bersama yang mengelola keuangan masyarakat melalui program Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP).BUM Desa: Keberagaman Kondisi yang Menghambat Keberlanjutan
Sejak diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, banyak BUM Desa yang didirikan oleh Pemerintah Desa. Namun, kondisi BUM Desa yang ada bervariasi. Ada yang sudah berbadan hukum dan beroperasi dengan baik, ada yang sudah berbadan hukum namun belum berjalan, bahkan ada pula yang belum berbadan hukum dan belum beroperasi sama sekali. Kondisi yang beragam ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan untuk membuat BUM Desa ini lebih efektif dan berkelanjutan.Koperasi Wanita (KOPWAN) dan Koperasi Tani (KOPTAN) yang Berbasis pada UU Perkoperasian
Selain itu, di beberapa desa juga telah berdiri Koperasi Wanita (KOPWAN) dan Koperasi Tani (KOPTAN) yang proses pendiriannya berbasis pada Undang-Undang Perkoperasian (UU No. 25 Tahun 1992), bukan berdasarkan Undang-Undang Desa (UU No. 6 Tahun 2014). Kedua jenis koperasi ini berfokus pada pemberdayaan sektor spesifik. KOPWAN untuk wanita dan KOPTAN untuk petani. Namun kedua koperasi ini sering kali terhambat oleh keterbatasan sumber daya, manajemen yang kurang profesional, serta kurangnya dukungan dari pemerintah desa. Oleh karena itu, meskipun keduanya merupakan bentuk koperasi yang sah, mereka tetap menghadapi kesulitan dalam menjalankan operasional yang efektif dan berkelanjutan, terutama tanpa adanya keselarasan dengan kebijakan yang lebih luas di tingkat desa.