Mohon tunggu...
Former bastard
Former bastard Mohon Tunggu... Wiraswasta

Act Bigger Live Bigger

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia dalam Skala Kosmik

28 September 2025   05:47 Diperbarui: 28 September 2025   05:47 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

manusia di alam semesta itu sebagai mana seekor semut yang tinggal di sebuah rumah, atau yg lebih besar lagi tinggal di sebuah hutan, atau yg lebih besar lagi tinggal di sebuah daratan, sebab di tempat tempat inilah yang dapat memberikannya hidup .dimana pun semut tersebut tinggal selalu saja membuat nya nampak kecil, atau dengan kata lain tak ada tempat yang nampak kecil dalam perspektif semut.
 
Alam semesta yang luas dan tak terhingga membuat manusia menjadi kecil dan tidak signifikan. Perasaan ini dapat diilustrasikan dengan membayangkan diri manusia a sebagai seekor semut yg hidup di berbagai lingkungan.di dalam rumah, di hutan, atau di dataran luas. Di mana pun semut itu berada, lingkungannya selalu terasa besar dan mungkin tak terbatas. Begitu pula dengan manusia, perspektif manusia tentang alam semesta selalu dibentuk oleh keterbatasan pengalaman dan pengetahuan
 
Ketika seekor semut hidup di dalam rumah, ia mungkin menganggap rumah tersebut sebagai seluruh dunianya. Ia tidak menyadari adanya dunia luar yang lebih besar dan kompleks. Sama halnya dengan manusia pada zaman dahulu, yang menganggap Bumi sebagai pusat alam semesta. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mulai menyadari bahwa Bumi hanyalah sebagian kecil dari tata surya, yang kemudian menjadi bagian kecil dari galaksi Bima Sakti, dan seterusnya.
 
Jika semut itu hidup di hutan, ia akan memiliki pemahaman yang lebih luas tentang dunia. Ia akan melihat berbagai macam tumbuhan, hewan, dan ekosistem yang berbeda. Namun, hutan itu sendiri masih merupakan bagian kecil dari planet. Demikian pula dengan manusia, eksplorasi ruang angkasa telah membuka wawasan  tentang planet-planet lain, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi yang jauh. Namun, kmasih belum memahami sepenuhnya misteri alam semesta.
 
Bayangkan semut itu hidup di dataran yng luas. Ia akan melihat cakrawala yg tak berujung, dengan pemandangan yng luas dan terbuka. Namun, dataran itu sendiri masih terbatas oleh batas-batas geografis dan ekologis. Sama halnya dengan manusia, meskipun  telah menjelajahi sebagian kecil dari alam semesta, masih terikat oleh hukum-hukum fisika &keterbatasan teknologi.
 
Perspektif semut selalu terbatas oleh lingkungannya. Ia tidak dapat melihat gambaran yang lebih besar, karena ia hanya dapat memahami dunia dari sudut pandangnya yang kecil. Begitu pula dengan manusia, manusia terjebak dalam perspektif nya sendiri, yang dibentuk oleh pengalaman, dan pengetahuan.

Memperjelas sekali lagi manusia di alam semesta itu bagaikan seekor semut yang menghuni sebuah rumah, tempat dimana ia dapat melangsungkan kehidupan. Semut hanya mampu melihat apa yang dapat terjangkau, sementara ia tak mampu mengukur Berapa luas rumah yg ia huni secara akurat. Semut tak bisa melihat apa yang ada di luar rumah. Dan juga tak mengetahui apakah ada rumah lain yang juga memiliki penghuni.

ketika semut hanya untuk sekedar ingin mengetahui bagaimana bentuk dan ukuran tempat tinggalnya, kemungkinan yang paling dapat di terima akal  harus berjalan keluar dari rumah yg pasti memerlukan waktu yang sangat panjang bagi langkah semut yang sangat kecil.seperti itulah manusia jika ingin melihat alam semesta. lantas mungkinkah pada hakikatnya alam semesta  tidak bertujuan untuk di ukur,di lihat bagaimana bentuknya, atau apa saja isinya , dsb

Pertanyaan diatas untuk menyentuh inti dari salah satu paradoks terbesar eksistensi manusia. Yakni kerinduan unt memahami alam semesta yg secara inherent mungkin berada di luar kapasitas pemahaman manusia 

Aspek Sang Semut di Rumah Manusia di Alam Semesta

Skala Sangat kecil vs. sangat besar. Langkah semut sangat pendek untuk mengukur rumah. Usia dan kecepatan manusia sangat terbatas untuk mengukur alam semesta yang berusia 13,8 miliar tahun dan luasnya yang tak terbayangkan.

Persepsi Hanya bisa melihat dan merasakan bagian kecil rumah (lantai, dinding). Tidak bisa melihat keseluruhan desain rumah dari luar. Sementara manusia hanya bisa mengamati sebagian kecil spektrum elektromagnetik (cahaya tampak). Tidak bisa langsung melihatmateri gelap, energi gelap, atau dimensi lain.

Pemahaman semut Tidak memahami konsep arsitektur, pemilik rumah, atau tujuan rumah itu dibangun. Manusia terus bertanya-tanya tentang hukum fisika, asal-usul alam semesta, dan apakah ada kecerdasan di baliknya---pertanyaan yang mungkin tidak bisa dijawab dari dalam sistem.

Perjalanan Butuh waktu sangat lama untuk menjelajahi satu ruangan saja, apalagi seluruh rumah. Butuh waktu puluhan ribu tahun untuk mencapai bintang terdekat dengan teknologi sekarang. Manusia seperti terkurung di pulau kecil dalam lautan kosmik.

Apakah Alam Semesta Bermaksud untuk Tidak Dipahami?

Ini membuka dua pandangan utama. 1. Pandangan Antroposentris (Manusia sebagai Pusat): Alam semesta ada untuk dipahami. Manusia, dengan akal budinya, adalah cara alam semesta memahami dirinya sendiri (seperti kata Carl Sagan). Dalam pandangan ini, tujuan alam semesta mungkin memang untuk diketahui, dan manusia adalah alatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun