Menjadi pemimpin artinya menjadi pelayan. Memimpin rakyat artinya juga melayani rakyat. Memimpin rakyat artinya juga mau melihat kesulitan rakyat, bukan malah mengeruk bahkan menunggangi kepentingan rakyat. Sebagai pemilih, ada baiknya mengambil sikap, kejujuranitu perlu namun hormat pada jati dirijuga penting!
—————————————————————-
“Pesta” pertama 9 April 2014, di negara ini sudah usai. Sebentar lagi akan ada “pesta rakyat” yang kedua, 9 Juli 2014. Apa yang dilihat pemilih?
Melihat figur.
Pemilih yang melihat figur yang baik, ganteng, ramah yang sekiranya dapat mewakili suaranya (Pertanyaannya: ganteng, ramah tapi tak mau bekerja ya … untuk apa, apalagi jika hanya “bekerja mengeruk uang rakyat”).
Melihat gelar.
Pemilih yang tak sungkan memilih calon pemimpin yang berpendidikan tinggi, (mis. profesor, doktor pun master), asumsinya berpendidikan tinggi biasanya terpelajar, dan beretika sosio politis yang mumpuni. Sayangnya badan ragawi-nafsu kedagingan itu kuat bin serakah. Tak sedikit yang bergelar, justru harus ndlosor di penjara, bahkan reuni dengan “saudara” seprofesi.
Pemilih yang melihat asal-usul.
Ada pemilih yang cenderung melihat-memilih orang yang sedaerah, sepulau bila perlu sebahasa daerah, seagama… (mungkin perlu ingat presiden untuk Indonesia bukan untuk suku bangnsa-bahasa tertentu). Pemimpin mestinya mengatasi-melintasi daerah, bahasa dan suku, juga mengatasi kepentingan agama.
Pemilih melihat kekayaan.
Pemilih yang hanya melihat kekayaan calon pemimpinnya. Akal sehatnya berbicara, jika yang ia pilih tak kaya, darimana uang untuk “promo diri”, untuk “jalan-jalan” ke berbagai penjuru negeri menemui “para penggemarnya?” Sayangnya, jika tidak diwaspadai, pemilih seperti ini bisa tertipu. Siapa tahu itu kekayaan hasil “slunditan” dengan kondisi kursinya yang ia pakai sebelumnya, kursi kerabatnya, ataupun hasil “perselingkuhan dan pembohongannya” dengan alam, dengan jabatan…dst! Cermati kekayaan karena kejujuran dan kerja keras!
Melihat kondisi kehidupan keluarga.
Biasanya, keluarga diidentikkan sebagai penjelmaan “masyarakat-pemerintahan” terkecil. Jika keluarga sendiri kacau balau, tak jelas manajemennya, bagaimana mungkin calon pemimpin akan mengelola pemerintahan-negara yang besar? Manusia dilahirkan dalam ketelanjangan, dalam kepolosan-kejujuran. Kejujuran-kepolosan dalam hidup berkeluarga juga menjadi penopang bernegara! Jika calon pemimpin tidak bisa menghormati lawan jenis yang hanya satu orang (baik itu lelaki atau perempuan), bagaimana mungkin ia bisa menghormati rakyat yang jumlahnya hingga ratusan juta jiwa?
Kemudian, ada pemilih yang hanya melihat figur pemimpin dengan nilai nominal uang. Ia memberi berapa, ia mendapat berapa dan apa. Semakin banyak nominal uang ia terima, semakin yakin akan pilihannya…. Astaga!
Akhirnya, mencerdaskan pemilih adalah tanggung jawab bersama. Media juga perlu memberi informasi tentang calon pemimpin secara “terang benderang: luar-dalam”. Salah langkah media dalam hal ini, hanya akan menurunkan kredibilitasnya. Fairness itu perlu namun self respect juga penting!