Mohon tunggu...
Florenchia Ersha Kurnia Putri
Florenchia Ersha Kurnia Putri Mohon Tunggu... Lainnya - florenshunt_

Mahasiswa Fakultas Bioteknologi Program Studi Biologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menjamurnya Industri di Purbalingga: Bagaimana dengan Sungai Kita?

23 Juni 2020   09:00 Diperbarui: 23 Juni 2020   10:21 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa tahun ke belakang, Kabupaten Purbalingga dikenal dengan produksi bulu matanya yang sudah mulai mendunia, untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah pun Purbalingga menduduki posisi pertama sebagai produsen rambut palsu dan bulu mata terbesar. Hal ini tentunya menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Purbalingga. Namun peluang ini juga menjadikan konsep industrialisasi makin berkembang, semakin banyak indutstri yang dibangun di kota ini, tidak hanya bulu mata dan rambut palsu, namun juga pabrik knalpot, minyak goreng, dsb. 

Sampai saat ini saja sudah lebih dari 40.000 unit industri yang ada di Kabupaten Purbalingga yang berasal dari perusahaan besar, menengah maupun kecil. Dari segi ekonomi, hal ini tentu sangat menguntungkan baik bagi pemerintah maupun masyarakat, karena setidaknya kehadiran industri – industri ini dapat meningkatkan perekonomian dengan penyediaan lapangan pekerjaan. Namun bagaimana dengan dampaknya terhadap lingkungan? 

Segala sesuatu memang memiliki dua sisi, di mana di satu sisi dapat menguntungkan, namun di sisi lainnya dapat merugikan. Meskipun alam di sekitar kita terlihat baik – baik saja, namun tidak berarti ekosistem yang ada bebas dari pencemaran. Pencemaran yang dihasilkan dari proses produksi bisa saja tidak terlihat dengan mudah, namun hal ini dapat dirasakan oleh warga sekitar seiring dengan berjalannya waktu. Kerusakan lingkungan semacam ini tidak dapat dibiarkan begitu saja karena pasti akan mengganggu kehidupan manusia maupun organisme lainnya. Salah satu yang paling terdampak adalah sungai yang dijadikan tempat pembuangan limbah pabrik. 

Di Purbalingga sendiri ada beberapa sungai seperti Sungai Pekacangan, Sungai Klawing, dan beberapa anak sungai yang mengalir baik di perkotaan maupun daerah pedesaan. Ketidaktegasan pemerintah dan kecurangan – kecurangan yang dilakukan oleh pihak industri dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang akhirnya juga dapat merugikan berbagai pihak.

Seperti kita ketahui bahwa setiap proses produksi menghasilkan limbah, baik yang berbahaya maupun tidak. Untuk pengolahan dan pembuangan limbah itu sendiri sudah diatur dalam regulasi baik pusat maupun daerah, seperti pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2012 yang mengatur tentang baku mutu air limbah, disitu sudah dijelaskan kriteria yang harus dipenuhi agar air limbah tidak membahayakan saat dibuang ke lingkungan, seperti standar BOD, COD, TSS, pH, debit maksimum bahkan kadar maksimum logam berat seperti sianida (Cn), krom (Cr), cadmium (Cd), timbal (Pb), dsb. 

Regulasi semacam ini dibuat dengan tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan, sebagai contoh industri knalpot yang melakukan aktivitas pelapisan logam akan menghasilkan limbah dengan logam berat timbal yang terakumulasi pada air sungai yang dapat berdampak buruk bagi organisme di dalamnya maupun kesehatan masyarakat yang memanfaatkan air tersebut. Untuk mencapai baku mutu air limbah yang baik maka idealnya setiap industri memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), namun pada kenyataannya belum semua industri di Kabupaten Purbalingga memiliki IPAL masing – masing. 

Hal ini tentu yang menjadi alasan meningkatnya angka pencemaran di Purbalingga. Industri yang menghasilkan limbah cair, khususnya industri – industri besar seringkali membuang limbahnya ke sungai saat malam hari atau saat hujan turun, hal ini sering dijumpai oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik - pabrik tersebut, tujuannya adalah untuk menghemat biaya pengolahan limbah karena saat malam hari atau saat hujan limbah cair yang dibuang akan susah untuk dimonitoring. Di sisi lain, aliran sungai tersebut juga digunakan untuk keperluan masyarakat seperti pengairan pada lahan pertanian, budidaya ikan, bahkan juga mandi cuci kakus.

Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran sungai akibat pembuangan limbah cair industri di Purbalingga masih termasuk minim, terlihat dari banyaknya industri  yang belum memiliki IPAL dan banyaknya keluhan warga atas perubahan yang terjadi pada air sungai pasca dibangunnya industri di daerah tersebut. 

Di sisi lain masih banyak warga yang bergantung pada aliran air sungai, baik sungai – sungai besar seperti Pekacangan dan Klawing maupun sungai – sungai kecil lainnya. Dampak langsung yang dapat dilihat adalah seperti mulai tidak terpenuhinya syarat air bersih yaitu tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau, perubahan warna air sungai yang bisa berubah – ubah menjadi merah atau keunguan akibat tercemar air limbah menjadi awal mula kecurigaan warga sekitar. 

Perubahan – perubahan fisik seperti itu mengindikasikan adanya perubahan kualitas air. Ada satu kasus dimana ikan – ikan yang dibudidayakan dengan memanfaatkan air sungai dekat pabrik bulu mata mati secara mendadak, hal ini tentunya meresahkan warga karena menyebabkan kerugian. Selain itu, air tercemar yang dimanfaatkan sebagai sarana MCK juga dapat menyebabkan penyakit kulit seperti gatal dan iritasi, atau bahkan pula timbul masalah kesehatan serius akibat akumulasi logam berat dalam tubuh. 

Akumulasi logam berat juga dapat terjadi akibat bahan pangan yang dikonsumsi juga berasal dari tanaman pertanian yang memanfaatkan air tercemar tersebut. Logam berat memiliki dampak buruk bagi tubuh, seperti kadmium (Cd) yang dapat menyebabkan gangguan pada paru – paru, merkuri (Hg) yang dapat menyebabkan penyakit syaraf, krom (Cr) yang bersifat korosif dan iritan, timbal (Pb) yang menyebabkan gangguan otak, dan bahaya – bahaya lainnya sampai pada kematian. 

Walaupun belum banyak kasus serius terkait dampak pencemaran air di Purbalingga, melihat banyaknya akibat buruk yang dapat ditimbulkan, pencemaran seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja karena efek yang ditimbulkan ke depannya akan jauh lebih mengerikan.

Pengawasan pemerintah dan masyarakat terhadap permasalahan ini sangat dibutuhkan. Selain mengandalkan regulasi yang ada, pemerintah juga perlu melakukan kontrol tegas khususnya terhadap pengelola – pengelola industri. Proses pengolahan dan pembuangan air limbah harus sesuai dengan baku mutu, dan bagi yang melanggar perlu dilakukan hukuman tegas sesuai aturan yang berlaku. 

Masing – masing industri juga harus memiliki IPAL sesuai dengan kapasitas produksi masing – masing, pembangunan IPAL pun tidak selamanya berbiaya besar karena menyesuaikan dengan kondisi industri itu sendiri. Selain itu, pihak pemerintah juga mengusullkan agar pihak industri yang belum memiliki IPAL dapat bekerjasama dengan pihak ketiga dalam pengolahan limbah agar aman dibuang ke lingkungan. 

Selanjutnya pemerintah juga sebaiknya melakukan monitoring rutin terhadap kualitas air khususnya yang berada di area industri. Monitoring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara tradisional dan dengan bioindikator. Monitoring tradisional adalah cara yang selama ini digunakan untuk mengukur kualitas lingkungan yaitu dengan mengukur kualitas air dengan parameter fisik-kimia seperti pH, suhu, warna, BOD, COD, TSS, dsb. 

Cara ini cukup mudah, murah dan dapat menunjukkan kualitas lingkungan jika dilakukan secara rutin, namun kekurangannya adalah hasil yang kurang akurat karena hanya menggambarkan kondisi lingkungan saat pengambilan sampel bukan keadaan air sebenarnya, seperti saat hujan air akan menjadi lebih encer sehingga hasil yang didapatkan akan berbeda. Teknik lain yang dapat diterapkan adalah dengan bioindikator, monitoring ini dilakukan dengan meneliti organisme yang hidup di ekosistem tersebut. 

Biondikator yang digunakan dapat berupa mikroorganisme, hewan, ataupun tumbuhan yang melimpah pada ekosistem tersebut, toleran terhadap polutan, dan siklus hidupnya yang relatif panjang agar mudah diamati. Sebagai contoh penggunaan makrozoobentos seperti Annelida (cacing cincin) atau Sulcospira sp. (siput air tawar) yang hidupnya melekat di dasar sungai, batuan, batang kayu dan ekosistem dekat perairan lainnya, organisme ini  umumnya mampu menghancurkan material besar menjadi lebih kecil yang kemudian oleh bakteri dijadikan sebagai medium pertumbuhan. 

Proses monitoring dilakukan dengan pemodelan pertumbuhan organisme tersebut sehingga dapat menunjukkan kondisi ekologis perairan secara efektif, lokal, dan jangka pendek. Dengan adanya kerjasama antar seluruh pihak baik pemerintah, pengelola industri maupun masyrakat, kelestarian lingkungan dapat terus terjaga sehingga peningkatan ekonomi yang diperoleh dari industri dapat berjalan beriringan dengan peningkatan kualitas lingkungan yang baik pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun