Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampus dan Hak Penyandang Disabilitas

2 Agustus 2022   22:18 Diperbarui: 2 Agustus 2022   23:04 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Dialog Koalisi Daerah OPD dengan Pemerintah Daerah, DPRD, dan Akademisi Unsrat

Saya selalu meyakinkan kepada banyak orang bahwa Penyandang Disabilitas mengalami diskriminasi sejak dalam pikiran, kebijakan, juga model pembangunan. Karena demikian, karena perbedaan fasilitas yang diterima, karena akses yang dibangun oleh pemerintah hanya diperuntukkan untuk orang "awas" (istilah yang dipakai oleh Penyandang Disabilitas untuk menyebut orang non-disabilitas). Bahwa dunia dibangun dengan asumsi diskriminatif.

Jika saya tanya kepada Anda, "Apa yang Anda pikirkan tentang disabilitas?" Mentok soal rasa iba; rasa kasihan yang harus diberikan secara utuh kepada mereka yang lemah, yang tidak berdaya, yang tidak punya kerjaan tetap.

Ingat! Rasa iba yang timbul hanyalah rasa iba itu sendiri tanpa mengasumsikan bahwa situasi yang Penyandang Disabilitas alami dihasilkan oleh dunia yang tidak adil. Makanya tidak ada yang ingin berbicara di publik tentang dunia yang tidak adil bagi Penyandang Disabilitas. Tidak ada yang ingin bicara di publik bahwa Penyandang Disabilitas mengalami pengabaian melalui kebijakan pembangunan. Semua bicara masalah kasihan dan pelindungan tanpa memasukan unsur kritik ke setting kebijakan. 

Keterbatasan yang Penyandang Disabilitas alami akibat dari ketidaksamaan akses yang diterima. Jadi masalahnya bukan pada Penyandang Disabilitas, namum dunia yang tidak memberikan kesempatan akses. Misalnya ketidaksamaan akses pendidikan; tidak adanya model perkuliahan yang aksesibel untuk Penyandang Disabilitas, atau tidak adanya kurikulum yang membahas hak-hak Penyandang Disabilitas.

Jika kita merujuk ke Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) atau disingkat CRPD, yang diadopsi oleh PBB pada 13 Desember 2006, dan berlaku sejak 3 Mei 2008, lalu diratifikasi melalui UU 19/2011, kemudian lahir UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, telah diatur tentang hak-hak Penyandang Disabilitas, termasuk hak pendidikan.

Dalam UU 8/2016, pasal 40-44 telah dijelaskan rinci mengenai hak-hak pendidikan bagi Penyandang Disabilitas dan anak dari Penyandang Disabilitas. Termasuk akomodasi yang layak.

Misalnya dalam pasal 40 ayat (1) "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan untuk Penyandang Disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangannya". Ayat (2) "Penyelenggaraan dan/atau fasilitas pendidikan untuk Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif dan pendidikan khusus". Ayat (7) "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan biaya pendidikan untuk anak dari Penyandang Disabilitas yang tidak mampu membiayai pendidikannya".

Dalam pasal 42 ayat (3) "Setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas". Ayat (7) "Penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak membentuk Unit Layanan Disabilitas dikenai sangsi administrasi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan pendidikan;
c. pembekuan izin penyelenggaraan pendidikan; dan
d. pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan".

Dalam pasal 43 juga dijelaskan masalah akomodasi yang layak, yaitu penyesuaian kurikulum dan aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas. Jika tidak terdapat akomodasi yang layak di perguruan tinggi makan akan dikenai sangsi seperti sangsi yang tertera pada tidak dibuatnya Unit Layanan Disabilitas.

Pasal 44 "Perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan wajib memasukkan mata kuliah tentang pendidikan inklusif dalam kurikulum".

Inilah yang menjadi masalah kita dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi di Sulawesi Utara, bahwa amanat Undang-undang tidak dijalankan. Padahal dalam CRPD yang telah diratifikasi dan dituangkan dalam UU 8/2016: semua orang memiliki hak yang sama dan kesempatan yang sama serta penghormatan dan pengakuan yang sama; bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Jelas pelanggaran yang dilakukan oleh kebijakan selama ini adalah, pertama, diskriminatif; kedua, pengabaian konstitusional!

Apa upaya awal yang bisa dilakukan untuk membuat kampus menjadi inklusif; terbuka bagi Penyandang Disabilitas? Yaitu infrastruktur harus dibuat aksesibel, dibuat penyesuaian dengan keterbatasan yang dimiliki oleh Penyandang Disabilitas baik bangunan maupun kurikulum. Menjadi percuma jika langsung membuat kampus menjadi inklusif sementara fasilitas dan kurikulum belum memadai untuk Penyandang Disabilitas. Apalagi masih memiliki pikiran diskriminatif dan menganggap remeh Penyandang Disabilitas.

Jika infrastruktur pendidikan inklusif diperuntukkan untuk Penyandang Disabilitas, lalu apa yang diperuntukkan untuk orang "awas"? Di sini kita fokus pada kurikulum.

Semua kurikulum di semua jurusan harus mempunyai mata kuliah spesifik tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas. Kurikulum dalam bentuk mata kuliah ini menjadi wajib diadakan untuk semua jurusan di kampus. Jika perlu di pendidikan formal lainnya, baik sekolah dasar, menengah (sejajar), dan atas (sejajar).

Argumennya cukup sederhana: kita semua adalah calon pemimpin, kita semua calon pekerja yang nantinya akan bergelut dengan urusan-urusan kemasyarakatan ataupun keputusan yang berkaitan dengan kerja dan dunia sosial.

Jika demikian, bagaimana membuat dunia lebih mungkin menjadi lebih adil, tidak diskriminatif dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang, maka semua orang harus mengetahui hak-hak dasar yang dimiliki oleh Penyandang Disabilitas.

Inilah proses awal yang sedang dikawal oleh Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) Sulawesi Utara yang membentuk Koalisi Daerah OPD Sulawesi Utara, bertujuan untuk mengawal Peraturan Daerah (Perda) Sulawesi Utara 8/2021 tentang Pelindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Sulawesi Utara (kebetulan saya terlibat sebagai mitra bakti Pertuni).

Dokpri: bersama Koorodinator Koalisi Daerah OPD Sulawesi Utara (kemeja biru) 
Dokpri: bersama Koorodinator Koalisi Daerah OPD Sulawesi Utara (kemeja biru) 

Tidak hanya pengawalan Perda Disabilitas, namun Koalisi ini juga akan mengawal UU 8/2016 serta aturan lain yang berkaitan dengan hak-hak Penyandang Disabilitas demi dunia yang lebih memberikan kesempatan pada semua orang, pada siapa saja, seperti Negara memberikan hak kepada Anda selama ini; yang bebas dari diskriminasi dan peminggiran kesempatan serta menciptakan kesejahteraan sosial.

Selamat memasuki bulan kemerdekaan.

MERDEKA! 

Welong (Sekre Baru), 2 Agustus 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun