Banyak elite coba merespon secara politis fenomena bom bunuh diri di gereja Katedral Makasar, Minggu 28 Maret 2021. Bahwa, bom bunuh diri tidak diajarkan dalam agama, agama apa pun. Bom bunuh diri hanyalah motif lain di luar agama. Agama diturunkan untuk mengajarkan kebaikan umat manusia.
Saya coba merespon respon dari elite ini, bahkan kebanyakan orang atau organisasi yang ikut memberi pendapat dan kutukan; pendapat bahwa agama bukanlah dalang, kutukan bahwa perlakuan itu apa pun motifnya tidak bisa dibenarkan.
Saya tidak mempermasalahkan kutukan untuk pelaku bom bunuh diri. Saya bersepakat. Saya lebih mempermasalahkan pendapat orang-orang tentang bom bunuh diri.
Secara singkat, saya akan membagi tulisan dalam tiga poin, kesemuanya terkait dengan fenomena bom bunuh diri dan respon masyarakat pada bom bunuh diri.
Benarkah Agama tidak Berperan dalam Fenomena Bom Bunuh Diri?
Kita bisa saja mengatakan bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan, meski pada fakta sejarah kekerasan itu ada. Agama juga tidak mengajari kita untuk bunuh diri, menghabisi tubuh sendiri, meski faktanya agama memberikan fokus yang lebih pada hidup setelah mati. Kehidupan dunia hanyalah suatu kesementaraan.
Jika ditemukan kekerasan atas nama agama, itu bukanlah agama. Begitu pun bom bunuh diri. Peristiwa itu hanyalah tindakan yang salah dari penafsiran yang salah terhadap agama. Agama tidak salah, yang salah orang yang menafsir agama. Artinya kesalahan di sini lebih ke cara berpikir. Bukan pada agama.
Namun di sini menjadi sulit untuk dikonfirmasi oleh masyarakat umum, apalagi awam. Bagaimana cara menafsir dengan benar? Atau mana tafsir yang benar? Apalagi di dunia sekarang yang lebih ingin benar sendiri.
Saya coba menghindari perdebatan demikian. Apalagi berkaitan dengan metode menafsir, tentang bias konfirmasi.
Lepas dari perdebatan tafsir atas agama, bagaimana pun bentuknya, tafsir pada agama mensyaratkan agama itu sendiri. Mau salah menafsir atau pun benar, poinnya berangkat dari agama. Agama memberikan kelonggaran untuk menafsir. Agama mempunyai ruang untuk tafsir bisa beda.