Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Kemanusiaan dari Tunanetra

29 September 2019   13:16 Diperbarui: 29 September 2019   13:37 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mudanews.com

Salah satu anggota ITMI yang sering saya temani untuk masuk ke markas pemerintahan adalah Ajis (saya menyapanya bang Ajis). Dengan keterbatasan pengelihatan namun punya pandangan yang jauh ke belakang dan ke depan. Mungkin Anda akan terpelongok mendengar dia berbicara; sangat syarat dengan kosa-kata aktivis. Dirinya telah terbentuk dari hasil pergulatan wacana kota, terlibat dalam pendidikan politik, dan pernah menjadi barisan terdepan mengorganisir massa. Anda bisa bayangkan bagaimana protesnya terhadap tidak diresponnya kegiatan Munas ITMI.

Dalam ruangan pemerintah yang kami masuki, tidak jarang ada yang memandang "sebelah mata". Ada yang sampai beranggapan sedang berdagang dan ada yang saling menolak untuk melayani. 

Kita bisa pahami dengan keseharian mereka yang berwatak elite. Pun sebagai pemerintah tentunya mempunyai pandangan "perbedaan kelas" apalagi mereka yang tidak lahir dari latar kemiskinan.

Padahal dalam artian fasilitas publik, publik yang dimaksud adalah semua orang. Mungkin saja publik direduksi menjadi kelompok, kelompokpun dibuat kelas-kelas. Jika demikian, konsekuensinya adalah surat-surat yang masuk dieksekusi menurut kelompok.

Pada bulan Juli sampai Agustus 2019, proposal permohonan dana telah diserahkan ke instansi-instansi pemerintahan. Namun, seperti biasanya, dalih primitif yang sodorkan. 

Setelah Pengurus ITMI Pusat melakukan mediasi dengan KEMENDAGRI RI yang disambut oleh Sekertaris Jendral (SEKJEN), dikeluarkan instruksi kepada Gubernur/Walikota untuk menanggulangi keberangkatan ke Munas ITMI.  Namun, masih juga dengan dalih primitif.

Entah kenapa, nalar kita selalu sama, sama-sama gampang mempercayai ocehan pemerintah.

Ini bukan kali pertama teman-teman tunanetra mengajukan proposal permohonan dana. Ini ke sekian kalinya dan pemerintah masih dengan jawaban yang sama. Dan ke sekian kalinya mendengar ocehan dalih primitif. Meskipun berulang kali dicoba, berulang kali tidak direspon.

Setidaknya pada Ajis kita bisa mengambil kesimpulan sederhana: adanya kepercayaan bahwa setiap manusia punya hati nurani. Meskipun konektifitas hati nurani itu belum tampak pada pemerintah, namun proposal tetap disodorkan.

"Kalo dorang pe perjalanan ka luar kota capat." (Jika keberangkatan mereka ke luar daerah sangat cepat). Potongan kalimat keluh Ajis setelah keluar ruangan Dinas Sosial.

Sepanjang perjalanan pulang, Ajis melancarkan kritik tepat di samping telinga saya. "Begitulah jika kita minoritas." Suatu narasi yang semestinya tidak terucap namun karena pemerintah selalu mengulang jawaban yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun