Mohon tunggu...
Fitrotun Nafisah
Fitrotun Nafisah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa PGPAUD UNISNU Jepar

Simple dan Berkesan

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Serangan Fajar" Menjadi Penentu Kemenangan dalam Pemilu

3 November 2019   16:29 Diperbarui: 3 November 2019   17:00 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: beritagar.id

Nama : Fitrotun Nafisah
NIM   : 161340000010
Tugas Makul : Teknik Penulisan Karya Ilmiah
Dosen Pengampu : Yushinta Eka Farida, M.Pd
Prodi : Pendidikan Guru PAUD UNISNU Jepara

PEMILU (Pemilihan Umum) sudah menjadi kegiatan rutin di Indonesia setiap lima tahun sekali sebagai negara demokrasi, baik itu dalam tingkat pemilihan Presiden, DPR, Gubernur, Bupati atau Wali kota, bahkan pada tingkat kepala desa. Pemilu sebagai acara pesta demokrasi di Indonesia hakikatnya untuk menentukan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk dijadikan pemimpin mereka. Dalam pemilu rakyat bebas memilih calon wakilnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun dan sifatnya rahasia, oleh karenanya dalam pemilu rakyat harus memilih pemimpinnya dari hati nurani tanpa ada embel-embelnya.

 Masa tenang dalam PEMILU merupakan saat yang sangat menentukan bagi para calon prmimpin dan simpatisan-simpatisannya untuk melancarkan serangan politik. Bahkan, melalui jalan-jalan sesat dengan  menggunakan cara "bawah tanah" (underground) dan ilegal. Para politisi yang tergoda untuk menduduki kursi-kursi jabatan pemerintahan secara instan tentunya akan tergiur untuk menghalalkan segala cara salah satunya dengan menggunakan "senjata" terakhir, agar mampu mencuri hak suara rakyat di masa tenang pemilihan umum (pemilu). Senjata politik tersebut lebih dikenal dengan sebutan "serangan fajar".

Serangan fajar pada dasarnya adalah sebuah kampanye terselubung yang dilakukan oleh tim sukses ataupun calon wakil rakyat itu sendiri dengan membagikan berbagai kebutuhan pemilih, biasanya berupa uang atau sembilan bahan pokok (sembako). Serangan fajar menjadi salah satu taktik konvensional, tentunya hal ini terbukti cukup ampuh dalam menaklukkan lawan-lawannya.

Dalam konteks politik praktis, serangan fajar menjelma menjadi sebuah penyakit awal yang cukup menakutkan untuk "membunuh" secara perlahan sistem demokrasi yang dianut sebuah negera. Bagaimana tidak, serangan fajar yang dilakukan para calon politisi digunakan untuk membeli suara rakyat dengan iming-iming materi semata. Mulai dari memberi uang, pemberian Sembako (Sembilan Bahan Pokok) dan lain sebagainya sesuai kondisi masyarakat di tempat.

Sangat miris dibayangkan, ketika kepercayaan masyarakat dapat di tukar dengan materi semata dalam pemilihan umum (Pemilu) tentu hal tersebut akan di jadikan sasaran empuk bagi calon legeslatif yang pintar memanfaatkan situasi dan kondisi masyarakat.

Meskipun calon wakil rakyat sudah mengetahui apa yang dilakukannya merupakan cara yang sesat. Persis prinsip pandangan, pemikiran dan praktik-praktik Machiavelli "menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan" (The end justifies the means) dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Di Jepara sendiri pemilihan petinggi yang dilaksanakan pada tanggal 17 oktober 2019 sebanyak 418 calon petinggi di 136 desa di 15 kecamatan. Hampir seluruh calon petinggi melakukan politik uang atau serangan fajar, entah itu dalam bentuk uang, sembako, ataupun kupon hadiah.

Pada jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pilpet. Biasanya ada seorang sabet yang mendatangi rumah-rumah untuk mendata setiap warga yang mau mencoblos calon tertentu. Bahkan ada yang sampai mengumpulkan foto kopi KTP. Data tersebut akan di serahkan ke calon sebagai perhitungan berapa uang yang akan dikeluarkan. Baru pada hari H uang serangan fajar tersebut di bagi-bagikan kepada calon pemilih.

Penulis mengutip dari artikel disalah satu akun facebook informasi Jepara. Bahwa di Desa Gemulung, Kecamatan Pecangaan, Jepara, ada tiga calon kades yang maju pada pemilihan kali ini. Ketiganya diduga membagikan uang kepada masyarakat. Ada yang membagikan Rp 100 ribu. Ada pula yang hingga Rp 200 ribu untuk satu orangnya.

Salah  satu warga Desa Gemulung, Eli mengatakan, dia mendapatkan amplop dari ketiga calon. "Dapat dari tiga-tiganya. Yang satu ngasih Rp 200 ribu, sementara dua lainnya masing-masing kasih amplop isi Rp 100 ribu," katanya.

Untuk satu rumah, Eli mengaku, jika ditotal mendapatkan amplop lebih dari Rp 1 juta. Di keluarganya, ada empat orang yang memiliki hak suara. "Masing-masing orang dapat Rp 400 ribu. Ada empat orang, jadi dapatnya Rp 1 juta lebih," ungkapnya.

Terus  bagaimana kalau calon yang kalah dalam pertarungan. Dengan modal yang sangat besar tersebut waalahualam. Mestinya mereka sudah memperhitungkan semuanya untuk siap menang dan siap kalah.

Masyarakat sendiri masih menganggap money politik sebagai hal yang biasa. Bahkan banyak warga yang masih menunggu-nunggu dan senang jika di kasih uang tersebut. Masyarakat menganggapnya uang money politik tersebut sebagai uang ganti kerja. Ada juga istilahnya uang ganti bensin, uang makan, uang rokok dan lainnya.

Pada saat pendaftaran, Para calon wakil rakyat sudah diwajibkaan menandatangani surat pernyataan bermaterai yang isi tidak akan berpolitik uang. Hal itu dilakukan agar pesta demokrasi bisa berlangsung jujur dan adil. Namun, kenyataan di lapangan banyak calon wakil rakyat yang masih melancarkan praktik politik uang.

Jika masyarakat sendiri masih mau menerima yang money politik tersebut. Sementara para calon juga masih mau membagi-bagikan uang kepada warga. Sepertinya tradisi haram tersebut akan sulit dihilangkan. Namun kita harus memulai dari diri kita sendiri agar tradisi tersebut bisa hilang. Sehingga menghasilkan pemimpin yg bersih dan amanah.

Masyarakat diharapkan tidak menggadaikan hak suaranya hanya untuk materi semata. Hak suara kita teramat berharga untuk ditukarkan dengan sejumlah nominal rupiah. Bayangkan akibat, pesta demokrasi yang memenangkan para caleg ( calon pemimpin) melalui serangan fajar. Tak banyak perubahan yang bisa kita harapkan dari para caleg tersebut. Otomatis, biaya pertarungan politik (cost politic) yang mereka keluarkan melalui cara-cara yang tidak benar, akan mereka kembalikan lagi dengan cara-cara tidak benar alias Korupsi.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, tidak ada pemberian sanksi pidana bagi para pelaku politik uang. UU tersebut hanya mengatur sanksi diskualifikasi kepesertaan untuk calon kepala daerah atau partai politik.

Namun tindakan tersebut masih bisa dipidana dengan menggunakan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP), tepatnya pasal 149 ayat 1 dan 2.

KUHP ayat 1 berbunyi, "Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah."

"Sedangkan KUHP ayat 2 berbunyi, "Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap".

Serangan fajar atau politik uang menjadi contoh betapa akrabnya masyarakat dengan manuver sesat para politisi. Hampir menjadi keniscayaan bahwa dalam setiap pemilu, pasti saja ada pasukan-pasukan serangan fajar yang bersiap untuk menukarkan hak suara rakyat dengan materi-materi penghilang dahaga. Dimanakah peran panitia pengawas pemilu ?

Panitia pengawasan pemilu harus ekstra kerja keras untuk mengantisipasi serangan fajar. Harusnya serangan fajar tidak perlu terjadi kedepannya. Kalaupun, masih saja ada caleg yang berani untuk melakukan serangan fajar. Panitia pengawas pemilu harus menindak dengan tegas, tidak hanya "anak buah" bahkan caleg terkait. Terlebih apalagi ada indikasi partai politik terlibat didalamnya.

Namun faktanya, panitia pengawas pemilu di negeri ini masih terlalu lembek dalam menindak para pelaku politik uang. Sangat jarang kita temui bahkan tak pernah, panitia pengawas pemilu berhasil menindak secara tegas pelaku politik uang sampai ke aktor intelektualnya (who is man behind the gun).

Dalam menghadapi serangan fajar. Pasti kita akan teringat oleh kata-kata "Ambil uang, lalu jangan pilih caleg/pemimpinnya!". Harus kita cermati lebih dalam dan serius. Mengambil uang dari caleg, tentu akan membuat politik uang (money politic) tumbuh subur.

Langkah progresif sebagai warga negara seharusnya berkata "Tolak uangnya dan jangan pilih calegnya !" dan "berdikari lah". Sebab dengan prinsip seperti itu warga negara sepantasnya berdikari (berdiri dibawah kaki sendiri) dalam menentukan pilihan. Tanpa, dihantui "perasaan was-was" dengan pemberi uang.

Semoga dengan prinsip demikian. diharapkan warga negara dapat menjadi awal perubahan yang di impikan. Perubahan yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara yang lebih baik. Karena pada akhirnya, pemimpin yang terbaiklah (bersih dan berintegritas) yang akan menang (primus inter pares).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun