Mohon tunggu...
Fitrotun Nafisah
Fitrotun Nafisah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa PGPAUD UNISNU Jepar

Simple dan Berkesan

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Serangan Fajar" Menjadi Penentu Kemenangan dalam Pemilu

3 November 2019   16:29 Diperbarui: 3 November 2019   17:00 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: beritagar.id

Untuk satu rumah, Eli mengaku, jika ditotal mendapatkan amplop lebih dari Rp 1 juta. Di keluarganya, ada empat orang yang memiliki hak suara. "Masing-masing orang dapat Rp 400 ribu. Ada empat orang, jadi dapatnya Rp 1 juta lebih," ungkapnya.

Terus  bagaimana kalau calon yang kalah dalam pertarungan. Dengan modal yang sangat besar tersebut waalahualam. Mestinya mereka sudah memperhitungkan semuanya untuk siap menang dan siap kalah.

Masyarakat sendiri masih menganggap money politik sebagai hal yang biasa. Bahkan banyak warga yang masih menunggu-nunggu dan senang jika di kasih uang tersebut. Masyarakat menganggapnya uang money politik tersebut sebagai uang ganti kerja. Ada juga istilahnya uang ganti bensin, uang makan, uang rokok dan lainnya.

Pada saat pendaftaran, Para calon wakil rakyat sudah diwajibkaan menandatangani surat pernyataan bermaterai yang isi tidak akan berpolitik uang. Hal itu dilakukan agar pesta demokrasi bisa berlangsung jujur dan adil. Namun, kenyataan di lapangan banyak calon wakil rakyat yang masih melancarkan praktik politik uang.

Jika masyarakat sendiri masih mau menerima yang money politik tersebut. Sementara para calon juga masih mau membagi-bagikan uang kepada warga. Sepertinya tradisi haram tersebut akan sulit dihilangkan. Namun kita harus memulai dari diri kita sendiri agar tradisi tersebut bisa hilang. Sehingga menghasilkan pemimpin yg bersih dan amanah.

Masyarakat diharapkan tidak menggadaikan hak suaranya hanya untuk materi semata. Hak suara kita teramat berharga untuk ditukarkan dengan sejumlah nominal rupiah. Bayangkan akibat, pesta demokrasi yang memenangkan para caleg ( calon pemimpin) melalui serangan fajar. Tak banyak perubahan yang bisa kita harapkan dari para caleg tersebut. Otomatis, biaya pertarungan politik (cost politic) yang mereka keluarkan melalui cara-cara yang tidak benar, akan mereka kembalikan lagi dengan cara-cara tidak benar alias Korupsi.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, tidak ada pemberian sanksi pidana bagi para pelaku politik uang. UU tersebut hanya mengatur sanksi diskualifikasi kepesertaan untuk calon kepala daerah atau partai politik.

Namun tindakan tersebut masih bisa dipidana dengan menggunakan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP), tepatnya pasal 149 ayat 1 dan 2.

KUHP ayat 1 berbunyi, "Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah."

"Sedangkan KUHP ayat 2 berbunyi, "Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap".

Serangan fajar atau politik uang menjadi contoh betapa akrabnya masyarakat dengan manuver sesat para politisi. Hampir menjadi keniscayaan bahwa dalam setiap pemilu, pasti saja ada pasukan-pasukan serangan fajar yang bersiap untuk menukarkan hak suara rakyat dengan materi-materi penghilang dahaga. Dimanakah peran panitia pengawas pemilu ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun