Mohon tunggu...
Fitri Lestari
Fitri Lestari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemerintah Menindas dan Menggusur Warga Parangkusumo

3 Januari 2017   14:45 Diperbarui: 3 Januari 2017   14:56 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Warga terdampak penggusuran di Parangkusumo masih tidur di tenda, pemerintah belum memberikan relokasi tempat tinggal, gambar : dokumentasi pribadi)

Terik matahari menyoroti bumi masuk ke dalam ruang di dalam tenda yang berisi sekumpulan manusia. Mereka masih terbaring di atas tikar, sedikit bergerak mungkin untuk memposisikan tubuh agar nyaman atau untuk mengusir lalat ataupun nyamuk. Ada yang masih tertidur, pulas karena kecapaian. Ada yang sudah terbangun sambil melihat-lihat hijaunya dedaunan segar yang langsung terlihat di depan mata sekaligus juga melihat bangunan yang sudah porak-poranda karena dihancurkan oleh alat berat yang dibawa oleh Pemerintah Daerah Bantul dan aparat-aparatnya.

Sudah dua minggu  warga Parangkusumo yang sudah tidak memiliki tempat tinggal terpaksa tidur di tenda. Barang musti tenda sungguh berbeda dengan rumah, ia terbuka yang mana menjadikan angin mudah masuk, lalat cepat hinggap di kulit-kulit manusia, ayam masuk dan bahkan mengotori ruang di tenda. Namun kita sudah terbiasa dengan keadaan ini, dua minggu kita bertahan hidup di tenda. Kebiasaan yang sungguh tidak menjadikan nyaman dan sehat. Tubuh kita kedinginan karena terkena angin malam dan gatal-gatal karena hisapan nyamuk.

Tenda adalah kehidupan sesudah rumah dirobohkan dan dihancurkan. Manusia yang memiliki kewenangan dan kekuasaan menjadi jahat sehingga tega untuk menghancurkan rumah warga Parangkusumo. Hari rabu tepatnya tanggal 14 Desember 2016 segerombolan aparat mendatangi tempat tinggal warga, mereka datang dengan massanya yang sungguh banyak, mereka jahat dan penuh kesewenang-wenangan. Mereka ratakan rumah-rumah warga Parangkusumo sampai sebagian warga jatuh pingsan.

Ibu Sri, perempuan yang sudah 24 tahun tinggal di Parangkusumo jatuh pingsan. Beberapa ibu menangis dan anak-anak kecil menjerit-jerit, sungguh mereka tidak percaya rumahnya dihancurkan. Tangis yang jatuh bukan karena bencana yang turun dari Tuhan melainkan bencana karena matinya rasa kemanusiaan.

1412 adalah aksi penggusuran yang dilakukan pemerintah kepada warga Parangkusumo, dengan dalih restorasi gumuk pasir pemerintah menghancurkan tempat tinggal warga. Pemerintah memupuk diri mereka dengan segala kerakusan, kekuasaan dan kesewenang-wenangan tanpa mengindahkan kepentingan warga Parangkusumo. Bukankah mereka sama-sama manusia? Atau apakah memang manusia memiliki sisi yang jahat sebagaimana apa yang diteorikan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia makhluk homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya? Atau apakah manusia sungguh memiliki hati yang busuk sebagaimana yang tertulis dalam buku Api Sejarah bahwa manusia berasal dari lumpur busuk sehingga dari dalam dirinya memiliki jiwa yang busuk? Pastinya, mereka rakus akan kepentingannya sendiri dan tidak barang sekecilpun mereka memiliki hati dan keberpihakan kepada rakyat. Mereka tidak mempunyai rasa kemanusiaan.

Berlebihnya kerakusan dan matinya rasa kemanusiaan pemerintah menjadikan kehidupan warga Parangkusumo hancur dan luluh lantah, warga tidak dapat tinggal di rumah bahkan warga kesulitan untuk mencari rejeki karena rumah yang sekaligus warung sudah dimusnahkan oleh pemerintah. Janji-janji akan relokasi masih belum terimplementasi. Pemerintah menelatarkan warga negaranya sendiri dan tidak mengejewantahkan konstitusi UUD 1945 pasal 28A, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Tak sedikit dari warga terdampak terdiri dari anak-anak dan lansia. Anak-anak tersebut harus merasakan pahitnya hidup di tenda, dinginnya angin malam membuat mereka tak nyenyak tidur bahkan terbukanya tenda membuat ayam-ayam mudah masuk sehingga membuat ruangan di tenda kotor.

Tegar, seorang anak laki-laki yang berumur 5 tahun terkena infeksi di kakinya, kakinya bengkak dan mengeluarkan nanah. Walaupun tidak parah namun hal itu mengganggu kesehatan Tegar, ia tidak dapat berlarian dan bermain-main seperti semula. Kurang lebih seminggu ia sembuh dari kakinya yang bengkak. Namun selang beberapa hari kemudian mata Tegar membenjol, mungkin karena kotoran kecoa yang menempel di mata Tegar ketika Tegar tidur di tenda. Sungguh pemerintah sangat kejam telah memenggal keceriaan anak-anak manusia. Penggusuran yang menghancurkan rumah-rumah warga menjadikan warga terpaksa tidur di tenda dan karenanya warga tidak mendapatkan haknya untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.

Kehidupan di tenda kita jalani dengan terus melawan sembari kawan-kawan mahasiswa memberikan kesadaran politik,

“warga harus melawan, warga harus berada di garda terdepan perlawanan, berjuang untuk mendapatkan hak untuk hidup sesuai dengan peraturan undang-undang. Jadi ibu-ibu bapak-bapak bahkan adik-adikku jangan takut untuk melawan pemerintah. Pemerintah itu keparat karena mereka tidak mementingkan warganya sendiri malah mengagungkan kekuasaan dan dengan sewenang-wenangnya menindas dan menggusur tanah rakyat!”, ucap salah satu mahasiswa kepada beberapa warga yang bahkan terdiri dari anak-anak.

“ya aku berani ayo nanti aku berdiri di yang paling depan!”, sahut Ibu Parmonah, Ibu yang memiliki 4 orang anak dan harus hidup dan berjuang sendiri tanpa pendamping hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun