Mohon tunggu...
Fitria Osin
Fitria Osin Mohon Tunggu... Lainnya - i am just a book challenger

i am just a book challenger

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Solusi Fundamental Atasi Krisis Pangan

16 Oktober 2023   15:26 Diperbarui: 16 Oktober 2023   15:38 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sementara itu, mega proyek Food Estate yang bernilai ratusan triliun dan digadang-gadang mampu menjawab tantangan krisis pangan, mangkrak. Bukan hanya tidak berkorelasi dengan ketahanan pangan nasional, program ini meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah akibat deforestasi.

Ini karena, proyek food estate diarahkan pada pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pangan yang dijalankan korporasi, bukan untuk ketahanan pangan nasional. Hasil pertanian lumbung pangan bukan mengalir ke pasar untuk kecukupan ketersediaan pangan, melainkan mengalir ke segelintir korporasi yang bermain di industri pangan. Lumbung pangan di Sumut, misalnya. Komoditas pertanian yang dikembangkan di sana di antaranya kentang, bawang merah, dan bawang putih. Hasil panen di sana justru dimonopoli sejumlah perusahaan besar yang menanamkan modalnya, khususnya di lokasi lumbung pangan Kabupaten Humbang Hasundutan. Terdapat tujuh perusahaan yang berinvestasi, yakni PT Indofood, PT Calbee Wings, PT Champ, PT Semangat Tani Maju Bersama, PT Agra Garlica, PT Agri Indo Sejahtera, dan PT Karya Tani Semesta.

Berdasarkan penelitian oleh sejumlah lembaga masyarakat sipil (FIAN Indonesia, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Bitra, Yayasan Petrasa dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sumut), lumbung pangan Desa Ria-Ria di kabupaten Humbahas tersebut merupakan kebijakan pembangunan pertanian yang pro pasar serta berorientasi mengindustrialisasi pertanian pangan yang sebelumnya didominasi para petani kecil. Terjadi perampasan kontrol atas tanah dan terlucutinya otonomi petani terhadap pertaniannya. Petani kecil cenderung menjadi pemasok bahan baku bagi korporasi agribisnis, sekaligus pasar dan turut menjadi tenaga kerja bagi industri pangan.

Bukan Sekedar Teknis

Indonesia sejatinya sudah punya pengalaman untuk bisa mewujudkan swasembada pangan. Pada awal era kepemimpinan Soeharto (1969) misalnya, Indonesia termasuk pengimpor beras terbesar dengan produksi beras nasionalnya yang hanya 12 juta ton.

Pemerintah melakukan kebijakan serius di sektor pertanian. Proyek-proyek intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi dilakukan dengan program yang disebut Bimbingan Massal (Bimas). Potensi Indonesia sebagai negara agraris dan maritim benar-benar dioptimalkan dengan mengarahkan pembangunan pada sektor-sektor yang mendukung target mewujudkan ketahanan bahkan kedaulatan pangan. Misalnya, pembangunan infrastruktur (irigasi, jalan, dsb.), pengembangan riset dan teknologi pertanian, dukungan kebijakan pendidikan tinggi dan menengah terkait sektor pertanian, perbaikan sistem tata niaga dan informasi pasar, kebijakan terkait pengadaan saprotan, subsidi dan bantuan permodalan, dan sebagainya.


Semua upaya tersebut akhirnya membawa Indonesia bisa swasembada pangan pada 1984. Bahkan selanjutnya, Indonesia berhasil menjadi salah satu negara pengekspor pangan. Bahkan Indonesia mampu membantu negara-negara di Afrika yang mengalami bencana kelaparan dengan mengirim ratusan ribu ton beras.

Sayangnya, pemerintahan Soeharto tidak bisa mengelak dari arus kebijakan global yang makin liberal. Pengarusan proyek liberalisasi pasar, termasuk di sektor pertanian, melalui keanggotaan di WTO dan ratifikasi The Agreement of Agriculture (AoA) pada 1994, membuat pemerintah Indonesia kehilangan kedaulatan pangan dan sulit membalik keadaan. Negara-negara besar yang ada di balik skenario ini tampak menginginkan negara semacam Indonesia cukup menjadi end user, bukan produsen produk pangan. Mereka berhasil melemahkan sasarannya dengan tekanan politik dan jebakan utang.

Semua ini diperparah oleh keberadaan mafia Berkeley yang berkelindan dengan merajalelanya kerakusan akan harta di lingkaran kekuasaan hingga banyak kebijakan penguasa yang dirasa kian memihak para pemilik modal. Bahkan, pola hubungan penguasa dan rakyat makin terasa seperti hitung dagang. Salah satu contohnya, peran Bulog yang sebelumnya menjadi representasi negara, berubah menjadi representasi pelaku pasar yang turut berdagang dengan rakyatnya.

Kondisi ini berlangsung hingga sekarang, bahkan liberalisasi dan kapitalisasi di sektor strategis seperti pangan dan energi benar-benar kian parah. Negara antara ada dan tiada. Para penguasa asyik melayani kepentingan para korporat, termasuk dalam proyek food estate yang dibangga-banggakan. Mereka seakan mati rasa melihat rakyat harus berjibaku dengan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup minimal di tengah daya beli yang kian rendah dan harga pangan yang kian tidak terjangkau.

Islam Menjawab Tantangan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun