Mohon tunggu...
Fitri Febriyanti
Fitri Febriyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa semester 5 Ilmu Sejarah, UNAND

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benang-benang kehidupan

15 Oktober 2025   13:05 Diperbarui: 15 Oktober 2025   13:03 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalau orang lain ditanya siapa pahlawan mereka, jawabannya pasti tokoh besar --- Soekarno, Hatta, atau Jenderal Sudirman. Tapi buatku, pahlawan itu nggak selalu pakai jas dan berdiri di podium. Kadang, pahlawan itu duduk di kursi kayu reyot, di pinggir pasar, ditemani suara "tek-tek-tek" mesin jahit tua.
Namanya Bapak Dumeri, tukang jahit legendaris di Pasar Pariaman. Tokonya kecil, catnya udah pudar, tapi aroma kain dan suara mesinnya terasa hangat, kayak rumah. Hari itu aku datang untuk tugas sejarah lisan --- tapi pulang-pulang malah ngerasa kayak baru baca novel kehidupan yang belum pernah diterbitkan.
"Apak tukang jahit se nyo," katanya sambil senyum.
Aku tertawa pelan. Dalam hati: Nah, justru itu yang luar biasa, Pak.

Dumeri kecil nggak sempat lanjut sekolah. Tamat SD aja udah syukur. Tapi siapa sangka, "sekolah kehidupan"-nya justru di rumah sang om, tukang jahit yang sabar dan telaten.
Setiap sore, ia duduk di pojok, memperhatikan jarum naik turun. Lama-lama, ia ikut belajar. "Dulu apak kira manjahik tu sanang se nyo, tinggal tariak jarum langsung jadi. Ternyata susah e," katanya sambil terkekeh.
Pelan-pelan, dari sekadar penasaran, tumbuh cinta. Ia mulai bisa bikin pola, potong kain, dan menjahit kemeja. Tapi di kampung, pelanggan terbatas. Maka, dengan tekad anak muda Minang, ia pun merantau ke Jawa. "Kalau urang Minang indak marantau, berarti indak barani cari hiduik," ucapnya tegas.

Di Jawa, hidupnya nggak mudah. Tapi justru di sana, ia belajar banyak --- dari teknik menjahit jas sampai bikin kerah yang nggak miring. Dan di sanalah, takdir mempertemukannya dengan gadis manis sesama orang Pariaman.
"Patamo di Ampera," katanya sambil tersenyum malu. "Tu ma ota-ota se sampai dakek, lamo-lamo makin dakek."
Kisah mereka sederhana tapi hangat. Seorang tukang jahit tamatan SD melamar mahasiswi universitas di Jakarta. Tanpa pesta besar, tanpa cincin mewah --- hanya kejujuran dan niat untuk berjuang bersama. "Apak cuman tukang jahit, tapi apak janji ndak akan manyesalkan inyo," kenangnya lirih.

Setelah menikah, mereka memutuskan pulang ke Pariaman. Dari hasil menabung di rantau, berdirilah toko kecil bernama "Penjahit Nasional."
Namanya keren, tapi tempatnya sederhana. Pelanggan awalnya cuma segelintir. Tapi karena hasil jahitannya rapi, kabar pun menyebar. Lama-lama, toko itu makin ramai.
Pendapatan meningkat. Dumeri pun bisa tersenyum lega --- apalagi ketika satu per satu anaknya lahir. Dan bukan satu, dua, atau tiga. Tapi sepuluh anak!

"Banyak anak, banyak rezeki," katanya sambil tertawa. Tapi di balik tawa itu, perjuangannya luar biasa. Dari hasil jahitannya, ia sekolahkan semua anak hingga sarjana.
Tiga jadi tentara, empat jadi guru, tiga lagi jadi perawat dan bidan.
Coba bayangkan: seorang tukang jahit tamatan SD bisa melahirkan sepuluh bintang yang bersinar di langit keluarganya. Kalau bukan keajaiban dari kerja keras dan doa, apa lagi namanya?

Waktu pandemi datang, banyak usaha gulung tikar. Tapi Bapak Dumeri malah menemukan peluang baru: bikin masker kain. "Ndak banyak untungnyo, tapi bisa bantu orang," ujarnya dengan tenang.
Ia membuktikan, bahkan di masa sulit, tangan terampil dan hati sabar tetap bisa menambal kehidupan yang robek.

"Menjahit itu seperti hidup," katanya sambil menatap mesin tuanya. "Benang kusut bisa diurai, kain sobek bisa ditambal. Asal sabar."
Kini, di usia 65 tahun, tangannya sudah tak selincah dulu. Tapi semangatnya masih sama. Ia masih sesekali duduk di depan mesin, bukan untuk mencari uang, tapi karena menjahit sudah jadi bagian dari jiwanya.
Warisan terbesarnya bukan toko, bukan uang --- tapi keteladanan: kerja keras, kesederhanaan, dan cinta tanpa syarat.

Kisah hidup Bapak Dumeri mengajarkan bahwa kesuksesan tidak selalu lahir dari ijazah tinggi atau pekerjaan bergengsi, tetapi dari ketekunan dan kejujuran dalam menjalani hidup. Ia hanya seorang tukang jahit sederhana, namun dari tangan tuanya lahir sepuluh anak yang berpendidikan tinggi dan sukses di berbagai bidang. Dari kisah itu, kita belajar bahwa kerja keras yang dilakukan dengan niat tulus akan selalu membuahkan hasil, meski mungkin tidak langsung terlihat hari ini.
Setiap jahitan yang dibuat Bapak Dumeri mencerminkan filosofi kehidupan: benang kusut bisa diurai, kain sobek bisa ditambal, dan setiap kesalahan bisa diperbaiki asal kita sabar. Begitu juga hidup, selalu ada cara untuk memperbaiki diri selama kita tidak menyerah. Hidup memang tidak selalu lurus, tapi seperti kain di bawah jarum, akan terbentuk pola indah kalau kita tekun menjalaninya.
Bapak Dumeri juga mengajarkan pentingnya tanggung jawab dan cinta keluarga. Ia tidak pernah menyerah meski harus membesarkan sepuluh anak dengan penghasilan dari mesin jahit. Ia percaya, setiap anak membawa rezekinya sendiri. Keyakinan dan doa itulah yang menjadi kekuatannya melewati masa-masa sulit.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh gengsi seperti sekarang, kisah Bapak Dumeri mengingatkan kita untuk tidak meremehkan pekerjaan kecil. Tidak ada pekerjaan yang hina selama dilakukan dengan jujur. Justru dari kesederhanaanlah lahir makna kehidupan yang sesungguhnya. Maka, jangan takut memulai dari bawah, jangan malu menjadi kecil, dan jangan lelah berbuat  baik. Karena seperti benang-benang kehidupan, setiap jahitan sabar akan menenun kebahagiaan di kemudian hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun