Mohon tunggu...
Fitra Riyanto
Fitra Riyanto Mohon Tunggu... Administrasi - Historian

Young Historian | Pembelajar | Membi(a)sakan | Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendekonstruksi Wajah Pendidikan Indonesia

9 Desember 2017   19:39 Diperbarui: 9 Desember 2017   20:37 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam konteks pendidikan, tenaga didik (guru) merupakan actor yang memainkan peran sentral didalamnya. Dia bisa mengubah manusia yang tadinya tidak tahu menjadi tahu dan bahkan ditangan dialah Indonesia dan dunia dipegang, dia bak matahari yang siap menyinari dan membakar kebodohan-kebodohan yang ada. Akan tetapi, melihat konteks kekinian tenaga didik (guru) yang diharapkan menjadi motor perubahan bangsa dan negara sangat jauh dari apa yang dicita-citakan para tenaga didik yang dipercaya bisa memberantas kebodohan kini menjelma menjadi mesin pembodoh itu sendiri, banyak kasus ketika jam KBM (kegiatan belajar mengajar) mereka malah asik berbelanja di mall-mall, sefie sana-sini, foyafoya kesana kemari. 

Hal ini kemudian mendukung terciptanya negara gagal (failed country), selain itu dalam metode pembelajaranya pun sangat minim inovasi dan malah menjadi sebuah tenaga didik yang bisa disamakan dengan 'Gaya Bank' dalam metode dan pembelajaranya.  Berbicara tentang tenaga didik teringat akan pemikir brazil bernama Paulo Freire ia berasal dari kalangan wong cilik semasa hidupnya ia mengkritik habis metode dan cara ajar di brazil dahulu, pemikirannya mengenai pendidikan menjadi sangat ampuh dalam memperbaiki paradigma masyarakat dalam memahami seperti apa essensi pendidikan yang sebenarnya apalagi bagi kaum - kaum wong cilik.

Pengalaman yang dialaminya di tempat kelahirannya di Brazil telah menunjukkan realitas seperti itu, menurutnya pendidikan yang diterapkan oleh negara justru telah menjadi alat penindas bagi masyarakat miskin dan sangat jauh membuat masyarakat teralienasi (terasingkan) pada realitas dirinya, dimana pendidikan yang seharusnya menjadi alat untuk mencerahkan pemikiran masyarakat malah berbalik fungsi menjadi alat untuk menghegemoni pemikiran masyarakat agar menjadi tunduk dan patuh terhadap pemerintah walaupun kondisi pemerintah pada saat itu sangat jauh dari harapan dan berkat dobrakannya kini wajah pendidikan di brazil menjadi banyak rujukan diberbagai belahan dunia. (A.B. Susanto, 2008: 84)

Pemikiran Freire tentang pendidikan lebih menyerupai petunjuk (guidance) normatif ikhwal kependidikan. Yaitu, berupa bimbingan menjadi guru yang benar dan murid yang benar dalam arti tahu posisi dan tanggung jawabnya, cara-cara membaca atau belajar yang produktif, menyikapi lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik secara kritis dan berusaha bermain cantik dalam lingkungan dan sistem di mana dia harus tetap melakukan perubahan.

Substansi pemikiran Freire tentang pendidikan terletak pada pandangannya tentang manusia, tentang dunianya yang kemudian ditransformasikan ke dalam dunia pendidikan yang menghasilkan model pendidikan alternatif yang ditawarkannya, yaitu model pendidikan yang membelenggu ke model yang membebaskan. Eksistensi dan peran besarnya dalam dunia pendidikan sebagai salah satu kontributor teori-teori pendidikan menempatkan dirinya dalam deretan orang-orang yang revolusioner-radikal. Sifat optimismenya sebagai pendidik, meski dalam pemenjaraan dan pembuangan, kontroversialnya kepribadian dan revolusionernya dalam metode pendidikan, telah menjadikannya sebagai seorang pemimpin perjuangan kaum tertindas di dunia ketiga. (Listiyono, 2003: 126)

Pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire berupa pendidikan yang membebaskan dan pendidikan yang mampu memanusiakan manusia. Dilatar belakangi karena adanya fitrah seorang manusia yang selalu menjadi objek (penderita) bukan subjek (pelaku) pendidikan. Bagi Freire penindasan dalam bentuk apapun itu namanya, merupakan sesuatu yang tidak manusiawi (dehumanisasi).

PENDIDIK ALA "BANK" VS PENDIDIK HADAP MASALAH

Hal inilah sebenarnya menjadi titik tolak dari pemikirannya tentang pendidikan. Dewasa ini pendidikan yang ada sangat mengekang dan menindas masyarakat, yang menyebabkan adanya situasi yang menyebabkan pemikiran peserta didik menjadi dangkal dan jangan heran bilamana mereka menjadi manusia sumbu pendek, pendidikan seperti itulah yang disebut Freire dengan sebutan Pendidikan Gaya "Bank" (banking education). Metafor banking berasumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah semacam barang, seperti uang yang bisa ditransfer dari satu orang kepada orang lain. Pendidikan banking berarti ilmu pengetahuan ditransfer dari pendidik kepada peserta didik. 

Secara aplikatif, pendidikan gaya bank ini menjadikan peserta didik sebagai 'objek' dari proses pendidikan dan menganggap bahwa peserta didik sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan pemahaman - pemahaman serta pengetahuan - pengetahuan yang telah ditentukan oleh pendidik, sistem pendidikan beserta kurikulumnya, yang artinya, peserta didik dalam hal ini memposisikan peserta didik sebagai orang yang tidak tahu apa - apa dan harus diisi pengetahuan oleh pendidik supaya bisa tahu dalil-dalil tentang pendidikan yang harus dihapal tanpa diberikan pemahaman yang komprehensif mengenai fungsi teori tersebut secara implementatif dalam realitas kehidupan mereka. Ilmu yang mereka pahami hanyalah sebatas teori - teori yang secara real sangat tidak mereka pahami dalam keseharian mereka (Fauzan, 2013)

Padahal semestinya, yang namanya ilmu pengetahuan adalah upaya untuk mengenali kehidupan dan dikembangkan sebagai upaya untuk menunjang nalar seseoarang dalam memahami realitas dirinya dan lingkungannya. Dalam sistem pendidikan ini, kreatifitas peserta didik dalam mengembangkan minat dan potensi keilmuannya sangat terpasung oleh sistem yang sangat kaku tersebut. Konsekuensinya, pelajar diintegrasikan kedalam dunia penindas- suatu dunia yang didasarkan pada dehumanisasi kaum tertindas. Sebaliknya Freire membandingkan dengan sistem pendidikan hadap masalah yang ditawarkannya sebagai tandingan (counter) terhadap sistem pendidikan 'gaya bank'. 

Dalam sistem yang ditawarkannya tersebut, Freire menyebutkan bahwa dalam sistem pendidikan hadap masalah, berjalannya pendidikan dilakukan dengan bentuk dialogis dua arah. (Utomo, 200: 51) dimana pendidik dan peserta didik memiliki hak yang sama dalam menyampaikan pendapat dan gagasannya (tidak ada yang superior dan imperior) mengenai suatu teori keilmuan yang kemudian teori tersebut langsung dibahas sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang terjadi, yang konteksnya kali ini adalah teori - teori yang digunakan hanyalah dijadikan sebagai pisau analisis dalam menjawab setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun